TUNGGU!
Waktu menunjuk pukul tujuh. Di sudut kafe ketiak saya berpeluh. Namun tak bisa mengeluh. Kecuali pada ponsel yang suaranya tak juga melengu. Dua belas jam yang lalu ada yang mengaku akan datang. Yang saya harapkan selalu di kafe itu senyumnya akan mengembang. Ketika melihat saya. Karena berdekatan dengan pujaan hati, katanya. Biasanya kami akan menghabiskan waktu dengan percakapan. Saling bertatapan. Saling bertukar harapan. Harapan untuk bisa merapat dan berdekapan. Di suatu tempat yang jauh dari kegaduhan.Namun, sebenarnya, hati saya selalu gaduh. Ketika di atas tubuhnya saya mengaduh. Karena setelahnya saya akan mengeluh. Bertanya, ke manakah hubungan ini akan berlabuh? ”Kenapa perlu dipertanyakan, Sayang. Kita sedang berlabuh ke sebuah ketidak-tahuan yang memabukkan.””Hah?!”Saya bukan orang yang mengerti bahasa isyarat. Apalagi kalau itu mengandung makna filosofis berat. Saya cuma tahu karena saya merasa. Bukan karena teori-teori yang tercantum dalam buku-buku yang pemikir sepertinya biasa baca. Saya hanya mau mencinta. Apakah lewat buku-buku bermartabat itu baru cinta bisa dicerna?Ia selalu menyebutkan nama-nama terkenal yang saya tidak kenal. Ia selalu menyebutkan nama-nama yang bahkan di dalam kepala saya pun tak akan lama mengental. Badiout? Platoy? Badut yang letoi, begitu yang selalu ada di dalam kepala saya tercantol. Bukan karena pemikiran mereka tentang kebenaran yang tidak saya pahami. Tapi lebih karena setiap kali melihat badut yang letoi, saya merasa tak sampai hati.Saya tidak pernah habis pikir mengapa ada karakter semacam badut di sirkus. Rata-rata mereka sebenarnya berbadan kurus. Bermuka tirus. Hanya kosmetik di mukanya memberangus. Dan buntalan di perutnya yang besar membungkus. Sehingga ia kelihatan lucu dan mungkin bagus. Bagi mata orang-orang tua yang membawa anak-anaknya hanya untuk sejenak melupakan haus. Haus hiburan. Haus kebersamaan. Haus tertawa bersama dalam suasana kekeluargaan. Padahal mata anak-anak itu mungkin bisa melihat apa yang ada di balik mata badut-badut. Mata yang bersungut. Dan mulut yang merengut di balik riasan begitu lebar dan memerah di mulut.Salah satu mata anak-anak itu, adalah mata saya. Mungkin di antara banyaknya anak-anak itu, hanya saya satu-satunya. Melihat badut yang itu-itu saja di setiap pertunjukan sirkus apa pun dan di mana pun juga. Badut yang letoi. Letoi yang adalah seperti tak bersendi dalam bahasa asli Jakarta. Dan selalu ada garis merah di bawah mata mereka seperti air mata. Jadi saya tidak pernah mengerti mengapa mereka menertawakannya. Bahkan sampai sekarang, ketika usia saya menginjak dewasa.Menertawakan kesedihan. Menertawakan kebersamaan. Menertawakan keadaan merekakah yang terpaksa datang bersama sanak keluarga hanya atas nama kekeluargaan? Menertawakan diri mereka sendiri. Dan untuk itu ada harga yang harus mereka beli?”Hahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahhahahahahahahaha.”Akhirnya saya tertawa lepas sebelum ia menjawab reaksi saya. Sangat lepas melebihi tawa saya melihat badut-badut letoi di sirkus. Berikut binatang-binatang yang tidak seharusnya diberangus. Sangat sangat lepas melebihi tawa-tawa dengannya yang sudah hangus.”Kenapa kamu ketawa, Sayang? Saya kan udah bilang, kalau kamu mau jadikan anak kita, sekarang saatnya. Saya tidak akan bisa kasih anak ke kamu lagi mengingat umur saya sudah lima puluh tahun sekarang. Tapi, saya tidak bisa jamin apakah saya bisa tanggung jawab secara material.”Kupu-kupu melebarkan sayapnya tepat di depan bebungaan di mana kami duduk. Ia pun melebarkan jangkauan tangannya di mana tangan saya sedang diam merunduk. Mencoba meredam tawa saya yang sudah terdengar seperti orang mabuk. Tenang gerakannya sangat saya tahu sebenarnya memendam rasa amuk. Karena itu segera saya kibaskan tangan itu berpura-pura menghalau nyamuk. ”Kamu…” ”Hah?!”Saya memotong kalimatnya. Persis seperti apa yang dilakukan badut-badut ketika berada di atas arena. Berteriak ketika ada yang mengolok-oloknya. Terjatuh. Mengaduh. Berlari. Tanpa berani memaki. Menghilang ke balik panggung. Disertai dengan sorak-sorai dan tawa menggunung.Sorak-sorai itu yang mengingatkan saya atas kutipan-kutipan yang disebutkan ia dari nama-nama pemikir. Membuat saya mencibir. Karena ada letupan kembang api di kepalanya. Dan warna-warni serpihan kembang api itu jatuh ke bahunya. Ia tidak pernah mengetahuinya. Maka, ia tak merasakannya. Ketika serpihan kembang api itu melumatnya. Bahkan ketika ia berkata,”Kenapa perlu dipertanyakan, Sayang. Kita sedang berlabuh ke sebuah ketidak-tahuan yang memabukkan.”Tapi di manakah sekarang ia?”Hah?!”Terkejut saya ketika bahu ditepuk seseorang.”Boleh saya ambil bangku yang tak terpakai?””Hah?!”Saya tidak bisa menentukan. Saya sudah menunggu dua jam dengan perut kram akibat pengguguran. Namun ia tak juga datang. Tapi apakah saya harus menyerahkan bangku kosong di sebelah saya ke seseorang? Seseorang yang membutuhkan bangku tambahan di mejanya karena ia bersama banyak teman tak terkecuali perempuan?”Boleh saya pakai bangkunya, Mbak?”Saya menatapnya.”Maaf, ada yang saya tunggu.””Waktu?”Waktu menunjuk pukul tujuh.
Uban hitam
LIMA belas tahun sudah Merlyn Getty tidur bersama Gunawan di ranjang rumah dan beberapa ranjang hotel yang pernah mereka singgahi. Sudah tidak terhitung percintaan yang pernah mereka nikmati tidak hanya di ranjang, tetapi di ruang mana pun yang menurut mereka aman dan nyaman untuk melakukannya. Sebegitu dekatnya Merlyn dengan Gunawan sehingga ia hapal terhadap setiap jengkal tubuh lelaki itu sehapal pada tubuhnya sendiri. Ia mengetahui setiap perubahan apa pun yang terjadi di tubuh Gunawan, mulai dari yang kecil lebih-lebih perubahan besar. Kantung di bawah mata yang kian nyata kendati Gunawan pernah rajin meredamnya dengan potongan mentimun atas permintaan Merlyn, perut yang kian buncit, sampai beberapa helai bulu hidung Gunawan yang sudah memutih menjadi perhatian Merlyn ketika lelaki itu tertidur pulas setelah lelah bercinta.Kalau bulu hidung yang pendek dan tersembunyi dalam liang kecil dan gelap masih terlihat Merlyn Getty, tentulah mengherankan bila ia abai terhadap beberapa helai uban yang mulai menghiasi kepala Gunawan. Merlyn tidak pernah melihatnya dalam setiap kebersamaan mereka yang paling intim sekalipun, konon lagi ketika menemani Gunawan sarapan atau sekadar mengantar Gunawan sampai teras depan ketika lelaki itu berangkat kerja. Perhatiannya tidak tertuju ke atas kepala Gunawan, tetapi ke hati lelaki itu. Sedangkan ketika mereka bercinta, pikiran Merlyn mengembara entah ke mana.Merlyn tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang berlebihan atau tidak masuk akal dengan beberapa helai uban yang luput dari perhatiannya. Ia jadi ingat pengakuan beberapa teman sebelum ini. Seorang temannya baru menyadari suaminya memiliki pusar di atas dahi setelah 11 tahun mereka berumahtangga. Temannya yang lain tidak mengetahui ada tahi lalat tersembunyi di bagian paling intim suaminya. Yang terakhir ini menurut Merlyn keterlaluan karena ia menganggap perempuan itu tidak melakukan apa pun untuk menyenangkan suaminya sebelum mereka menyatu dalam sebuah kebersamaan yang penuh desah.Kedua kasus di atas, menurut Merlyn, berbeda dengan uban karena rambut putih itu tidak muncul sejak Gunawan lahir sebagaimana pusar di puncak dahi.Merlyn tidak menemukan uban itu, melainkan uban itulah yang menemukannya tadi pagi ketika ia masuk ke kamar mandi dan Gunawan ada di sana dengan handuk putih yang melilit di pinggang. “Ternyata aku sudah tua,” katanya seperti kepada diri sendiri karena ia berdiri di depan cermin yang berkabut sambil menyibak rambutnya yang tebal lurus sampai sedikit menutup daun telinga. Merlyn masih tidak peduli dengan pengakuan itu karena Gunawan sudah berusia 46 tahun. Justru keterlaluan bila ia tidak menyadari ketuaannya sehingga bertingkah seperti pemuda belasan tahun ketika melihat gadis-gadis belia di luar sana. Ketika Gunawan memutar tubuhnya dan menundukkan kepala di depan wajah Merlyn sambil meminta dicabuti ubannya, seketika itulah Merlyn terkejut. Tanpa sadar ia mundur beberapa langkah hingga punggungnya membentur dinding. Wajahnya pucat pasi serupa air muka orang yang baru saja berjumpa dengan sesuatu yang paling menakutkan seumur hidupnya.Bagi Merlyn, sesuatu yang menakutkan itu bukanlah hantu karena ia tidak pernah melihatnya meski sangat percaya makhluk itu ada. Ia pernah melewati masa-masa yang penuh hantu, tetapi tidak pernah satu kali pun melihat meski bisa jadi justru hantu itu sedang melihatnya. Hantu sungai, hantu kuda, hantu api, hantu emas, segala jenis hantu ada pada masa itu, tetapi Merlyn hanya mendengar nama mereka saja. Ketika papanya pergi dan mama mulai sering memukulnya, ia selalu berharap berjumpa dengan hantu apa pun yang akan mengajak dirinya dan dua adiknya pergi. Mereka bertiga sering mandi di alur Kapuas ketika air sedang pasang dengan kayu gelondongan sebagai perahu. Orang dewasa yang menggunduli hutan di sana menakuti dengan kisah hantu buaya yang memangsa anak kecil agar mereka segera menyingkir. Merlyn dan kedua adiknya justru bermain di sana sampai malam menjelang agar hantu buaya datang dan membawa mereka ke dalam dunia buaya. Namun, hantu buaya tidak pernah datang, yang datang justru air bah bercampur lumpur yang membuat ia dan kedua adiknya nyaris mati tenggelam. Sampai beberapa tahun setelah kejadian itu, ia harus rutin memeriksakan diri ke dokter karena paru-parunya tercemar lumpur.Merlyn Getty bukannya menyesali keputusannya bermain di Kapuas ketika air sedang pasang, melainkan menyesali kenapa tidak mati saja. Dua kali sudah ia mengundang kematian, tetapi kematian tidak menghampirinya ketika diharapkan. Setelah kematian yang gagal di Kapuas, kehidupannya menjadi lebih sulit. Papanya tidak pernah pulang lagi, yang belakangan ternyata sudah kabur dengan anak gadis orang setelah menghamili perempuan muda itu. Mamanya bekerja di sebuah pabrik tripleks sebagai buruh kasar. Ia pergi pagi dan pulang menjelang malam dengan tubuh yang kelelahan. Semakin lelah mamanya bekerja, semakin sering ia memukuli Merlyn dan kedua adiknya. Sampai kemudian Merlyn dikirim ke tantenya di Cilacap. Tantenya itu adalah adik mama, tetapi mereka beda ayah. Suami tantenya bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan perminyakan nasional, dan cukup sukses sehingga dua tahun berturut-turut menjadi karyawan teladan. Mereka mempunyai dua anak lelaki, tetapi tidak satu pun lahir dari rahim tante. Merlyn mengira nerakanya sudah berakhir ketika ia dikirim ke Cilalap, tapi ternyata di sanalah ia menemukan neraka yang sesungguhnya dari perilaku dua anak tante yang seharusnya menjadi saudara sepupunya, juga dari perilaku tante dan lebih-lebih dari suaminya.Kedua sepupunya itu sering menjamahi tubuhnya yang sedang tumbuh ketika orang tua mereka tidak ada di rumah. Seorang di antaranya kemudian diterima sebuah perguruan tinggi terkemuka di Yogya dan itu amat disyukuri Merlyn. Namun, nerakanya belum berakhir karena sepupunya yang lain merasa sudah menguasai Merlyn seorang diri. Ketika Merlyn Getty memberanikan diri untuk melawan, hanya satu kali perlawanan secara fisik dan ancaman akan mengadukan ke polisi, sepupunya itu berhenti untuk selamanya. “Satu kali saja kamu berani menyentuhku lagi, kita akan berjumpa di pengadilan!”Merlyn kelas dua SMA ketika itu. Sedang mekar-mekarnya dengan darah Banjar dan China yang mengalir dalam tubuhnya yang semampai dan proporsional. Kelebihan itulah yang menggoda pamannya untuk mulai menyentuhnya justru setelah kedua anaknya berhenti. Mulanya hanya di tangan ketika ia meminta bantuan Merlyn. Setelah itu dianggap biasa, naik ke pipi lalu turun lagi ke pinggul dan mulai berani naik lagi ke dada. Ketakutan Merlyn bahwa sentuhan itu akan turun lagi ke bagian lain, menjadi kenyataan. Setiap pagi, pamannya bangun lebih subuh dan menyelinap ke kamarnya. Dia melarang Merlyn mengunci pintu. “Jangan pernah bilang ke siapa pun, terutama tantemu!”Merlyn tidak berani membalas ancaman itu sebagaimana yang pernah dilakukan terhadap sepupunya. Mengadu ke malaikat pun tidak akan dipercayai kalau lelaki yang menjadi tokoh masyarakat itu melakukan perbuatan tak senonoh. Paman menggunakan pengaruhnya agar bebas melakukan apa pun terhadap dirinya. Orang-orang sekitar sangat menghormatinya. Merlyn bisa melihat pada hari-hari besar seperti Idul Fitri, pejabat kepolisian di Cilacap, jaksa, dan hakim, sering bertamu ke rumah. Ancaman “kita akan berjumpa di pengadilan” seolah tak berlaku untuk membalas kekurangajaran pamannya.Salah satu kebiasaan lelaki itu adalah meminta bantuan Merlyn untuk mencabuti ubannya, ada atau tidak ada istrinya di rumah. Bila tantenya di rumah, pekerjaan itu tak terlalu menakutkan. Begitu tantenya di luar, itulah kesempatan paman untuk menggerayangi tubuhnya ketika tangannya sibuk mencari uban. Dua tangan bekerja bersamaan, satu mencari uban dan yang lain mencari kenikmatan. Puncaknya, ketika tante tak ada di rumah, paman memerkosanya. Itulah hari paling buruk dalam hidup Merlyn sehingga ia nekat mengiris nadi dengan pecahan botol.Ketika tante pulang dan melihatnya bermandikan darah, paman mengaku baru saja memarahinya karena kedapatan berada di tempat bilyar bersama teman-teman cowoknya. Pamannya benar, sehari sebelumnya ia kedapatan di meja bilyar selama jam belajar dengan sejumlah teman sekolahnya. Mereka sering bolos sekolah dan baru kali itu kedapatan. Di rumah Merlyn memang anak pendiam, tapi di sekolah ia bandel. “Mungkin karena itu dia bunuh diri,” kata paman tanpa panik sedikit pun. Bahkan ketika ia membawa Merlyn ke rumah sakit, ia sempat berbisik di telinga, “Dasar bodoh. Sudah kuberikan surga dunia, kau malah ingin ke neraka. Bunuh diri itu dosa besar, tahu!” Pamannya tidak berkata tentang hukum menzinahi keponakan sendiri.Uban itulah yang menjadi pintu neraka bagi Merlyn. Setelah mendapat pengobatan, dia kabur dari rumah dan menjadi istri simpanan seorang bangsawan di Malaysia. Mereka berpisah dua tahun kemudian dan Merlyn bertemu dengan statusnya sebagai janda kembang serta Gunawan sebagai duda beranak satu. Sebelum menikah, ia sudah menceritakan semua masa lalunya kepada lelaki itu, kecuali soal uban pamannya. Tak disangkanya uban di kepala Gunawan telah membuka kembali rahasia masa lalu yang sudah dikuburnya dalam-dalam.“Aku tidak ingin lagi melihat uban di kepalamu!” cetus Merlyn sambil memutar tubuhnya dan keluar dari kamar mandi.“Aku sudah tua, sudah pantas beruban. Kamu tidak bisa menolak kodrat.”Masih sempat didengar ucapan Gunawan itu sebelum ia benar-benar lenyap dari kamar mandi. Merlyn tidak menolak Gunawan menjadi tua, tidak menolak rambut putih tumbuh di lubang hidungnya atau di tempat lain. Namun, Merlyn tidak ingin melihat uban di atas kepala Gunawan. Dia ingin uban itu berubah hitam atau ia akan kabur dari rumah bila Gunawan memaksa untuk mencabutinya. (*) Seharusnya Berjudul Celana Dalam
Cerpen Etik Juwita
Sundari sedang memasukkan baju-baju kotor ke mesin cuci ketika suara lantang majikan perempuannya menggema dari arah kamar tidur utama.
"Cundaliiii!!" jerit itu terdengar lagi. Sundari terkesiap, gugup. Sundari tahu benar, ketika namanya disebut lengkap begitu sesuatu yang luar biasa pasti sedang terjadi. Tiga bulan tinggal bersama keluarga asing yang menjadi majikannya, sudah membuatnya mulai mengerti kebiasaan tuan dan nyonyanya.
Sundari mencoba mengingat-ingat, apa kira-kira yang telah diperbuatnya pagi ini atau kemarin malam. Sundari yakin tidak ada yang tidak wajar. Memang, sejak kepulangannya dari Amerika kemarin sore, Mam tak habis-habisnya menekuk wajah. Sepertinya ia menyesal telah pulang. Tuan pergi ke China, berangkat dua jam sebelum Mam kembali. Sundari buru-buru memindahkan semua baju dari dalam keranjang ke mesin cuci. Tapi, belum sempat ia menuangkan deterjen, suara majikannya terdengar dekat. Menyembul dari pintu dapur, "Cundaliiii!!" Sundari menoleh, dan tanpa diperintah lagi mengikuti langkah majikannya. Dag dig dug jantungnya berirama bingar.
"Look!!" jari lentik majikannya menunjuk laci pakaian dalamnya yang terbuka. Sundari mendekat, mengamati setiap pernik di dalamnya. Rapi, tidak ada yang salah letak. Beberapa saat Sundari cuma tertegun. Sampai majikannya dengan menggunakan sisir mencoba mengangkat sesuatu (celana dalam!). Sundari tetap tidak mengerti.
"It’s your panty, isn’t it?" berkata begitu Mam melotot ke arahnya sambil menunjukkan celana dalam yang dirapikanya beberapa hari lalu. Waktu itu Sundari sempat tersenyum geli, berpikir, mungkin Tuan sedang kangen sama Mam hingga perlu mengeluarkan celana dalamnya yang paling bagus --yang ini Sundari belum pernah lihat sebelumnya, lalu menjemurnya di balkon. Saat merapikannya, Sundari merasa tidak perlu bertanya pada Tuan soal celana dalam itu. Tidak sopan, pikirnya. Tapi, menghadapi sikap nyonyanya yang seolah telah lupa sama sekali dengan barang milik pribadinya, kontan Sundari jadi salah tingkah.
"Nnn... no.. no Mam. My panty is big-big one," kata Sundari akhirnya. Mendengar jawaban Sundari, Mam mengerutkan dahi hingga alisnya yang bergaris tajam saling bertaut. Wajahnya semakin kelihatan judes. Matanya yang sipit mulai kelihatan merah dan berair. Mam mulai menangis. Sundari semakin salah tingkah. Ia ingin mengatakan pada Nyonya, mungkin sebaiknya Nyonya menelepon dan menanyakan pada Tuan soal celana dalam yang diributkannya itu. Tapi, segera diurungkannya. Dengan bahasa Inggris patah-patah sambung, bagaimana mungkin ia akan mampu menjelaskan pada Nyonya? Sundari diam dalam kebingungan. Ia hanya menuruti langkah majikannya saja ketika ia bergegas menuju kamar Sundari. Sambil sesenggukan Nyonya membuka laci pakaian Sundari. Foto usang Parjo meringis di depan sepeda motor tetangga, terlihat. Sundari tersipu. Mam mengamati isi laci Sundari agak lama, dan dengan tangis yang semakin menjadi ia menenteng celana dalam murahan berukuran XL milik Sundari. Tangisnya semakin keras, meraung-raung.
Sehari itu, Nyonya mengurung diri di dalam kamar. Bahkan, ketika makan siang pun Nyonya menolak keluar. Sundari berusaha santai dengan mengerjakan rutinitasnya. Saat Nyonya memanggilnya untuk membantu memasukkan baju-bajunya ke dalam tas besar, Sundari tidak merasakan keganjilan apa pun. Besoknya, Nyonya pergi bersama tas besarnya setelah berpesan kepada Sundari untuk tidak pergi ke mana-mana. Sundari yang memang terbiasa tak pergi keluar rumah, cuma mengangguk-angguk.
Sundari mulai mampu meraba apa yang terjadi. Dulu, dua bulan lalu, Nyonya pernah marah besar kepada Tuan. Gara-garanya, Tuan terlambat pulang. Padahal, Nyonya menunggunya untuk makan malam bersama. Sampai larut malam keduanya masih riuh adu argumen. Hingga tiba-tiba, Tuan menggedor pintu kamarnya dan menyuruhnya mengambilkan peralatan P3K. Esoknya, Sundari melihat pergelangan tangan kiri Nyonya diperban. Mungkin Nyonya mencoba bunuh diri. Nyonya memang orang yang cemburuan.
Sepekan setelah kepergian Nyonya, ketika persediaan makan mendekati habis, Nyonya pulang bersama seseorang dari agen penyalur tenaga kerja yang memasokkan Sundari ke majikannya di Hong Kong.
"Cundali, kamu punya majikan mau celai. Kamu punya kelja tidak ada. Kamu dipulangkan," kata Miss Lam berusaha memberi pengertian pada Sundari. Saat itu Sundari hanya ingat Kang Parjo, suaminya di dekat sepeda motor tetangga, meringis. Padahal Sundari ingin menangis.
"Indonesia, hamaiya?" sapa seseorang dari arah samping Sundari, ketika ia sedang mengamati lalu-lintas orang di ruang tunggu Bandara Chek Lap Kok.
"Ya."
"Dipulangkan meh?" tanyanya lagi. Sundari merasa agak gerah dengan pertanyaan itu. Tapi mencoba tenang.
"Kok tahu?" katanya balik bertanya.
"Rambutnya pendek dan bawaannya sedikit ma!"
Sundari tersenyum getir. Lalu perempuan yang menyapanya itu pun duduk di sampingnya. Berbincang-bincang dengan bahasa negeri sendiri --meski Sundari merasa bahasa perempuan itu agak dibuat-buat-- Sundari merasa akan kembali ke dunianya. Tiga bulan ia harus memelajari bahasa asing patah-patah bercampur bahasa isyarat. Menelan bulat-bulat dan berusaha memahami budaya yang jelas berbeda dengannya. Berpikir itu hanyalah bagian yang harus dijalaninya untuk mewujudkan mimpi punya kehidupan yang lebih layak. Mungkin seperti Budha yang mesti menjalani Samsara sebelum mencapai Nirwana. Apalagi bila ia ingat kebiasaan majikan yang suka marah, bicara dengan membentak, tertawa ngakak, menangis sejadi-jadinya, serta-merta Sundari merasa lelah. Kelelahan yang jelas menggurat di wajahnya yang bulat.
Lalu Marni, gadis di sebelahnya itu, siapa menyangka ternyata bekerja di flat yang sama dengannya! Satu tingkat di atasnya. Marni juga dipulangkan.
"Namanya majikan ya Mbak, salah bener ya maunya bener. Hamai sin? Ngapain Mbak dipulangkan?" Marni bertanya kepada Sundari.
"Majikanku cerai. Kamu?"
"Karena celana dalam! Jisin! Dasar majikan nggak tahu diuntung! Seenaknya bilang aku cerob..."
"Celana dalam? Jangan-jangan warnanya merah muda?" potong Sundari.
"Haiya, haiya!"
"Ada renda-renda di samping kanan dan kirinya ya?"
"Haiya!!"
"Kecil, mereknya Sexygirl?"
"Haiwo!! TIM CHI CEK? Kok tahu?"
Sundari bengong, teringat ia akan celana dalam merah muda yang telah berubah jadi guntingan kain kecil tak beraturan di kamar majikannya. Nyonya bilang, "Jangan dibuang, biar Tuan tahu."
Mengingat nasibnya, nasib Marni, juga nasib majikannya, Sundari tersenyum tanpa sadar. Seseorang dengan kulit sewarna periuk gosong, di sebelah kiri pintu masuk, menyambut senyumnya. Sundari mengalihkan pandang cepat-cepat kepada Marni, "Ceritanya singkat. Nanti aku ceritakan di dalam pesawat," katanya, karena pengeras suara itu sudah meneriakkan pengumuman bahwa pesawat menuju Surabaya akan segera lepas landas.
Marni cuma mengangguk sambil melongo.***
Sundari sedang memasukkan baju-baju kotor ke mesin cuci ketika suara lantang majikan perempuannya menggema dari arah kamar tidur utama.
"Cundaliiii!!" jerit itu terdengar lagi. Sundari terkesiap, gugup. Sundari tahu benar, ketika namanya disebut lengkap begitu sesuatu yang luar biasa pasti sedang terjadi. Tiga bulan tinggal bersama keluarga asing yang menjadi majikannya, sudah membuatnya mulai mengerti kebiasaan tuan dan nyonyanya.
Sundari mencoba mengingat-ingat, apa kira-kira yang telah diperbuatnya pagi ini atau kemarin malam. Sundari yakin tidak ada yang tidak wajar. Memang, sejak kepulangannya dari Amerika kemarin sore, Mam tak habis-habisnya menekuk wajah. Sepertinya ia menyesal telah pulang. Tuan pergi ke China, berangkat dua jam sebelum Mam kembali. Sundari buru-buru memindahkan semua baju dari dalam keranjang ke mesin cuci. Tapi, belum sempat ia menuangkan deterjen, suara majikannya terdengar dekat. Menyembul dari pintu dapur, "Cundaliiii!!" Sundari menoleh, dan tanpa diperintah lagi mengikuti langkah majikannya. Dag dig dug jantungnya berirama bingar.
"Look!!" jari lentik majikannya menunjuk laci pakaian dalamnya yang terbuka. Sundari mendekat, mengamati setiap pernik di dalamnya. Rapi, tidak ada yang salah letak. Beberapa saat Sundari cuma tertegun. Sampai majikannya dengan menggunakan sisir mencoba mengangkat sesuatu (celana dalam!). Sundari tetap tidak mengerti.
"It’s your panty, isn’t it?" berkata begitu Mam melotot ke arahnya sambil menunjukkan celana dalam yang dirapikanya beberapa hari lalu. Waktu itu Sundari sempat tersenyum geli, berpikir, mungkin Tuan sedang kangen sama Mam hingga perlu mengeluarkan celana dalamnya yang paling bagus --yang ini Sundari belum pernah lihat sebelumnya, lalu menjemurnya di balkon. Saat merapikannya, Sundari merasa tidak perlu bertanya pada Tuan soal celana dalam itu. Tidak sopan, pikirnya. Tapi, menghadapi sikap nyonyanya yang seolah telah lupa sama sekali dengan barang milik pribadinya, kontan Sundari jadi salah tingkah.
"Nnn... no.. no Mam. My panty is big-big one," kata Sundari akhirnya. Mendengar jawaban Sundari, Mam mengerutkan dahi hingga alisnya yang bergaris tajam saling bertaut. Wajahnya semakin kelihatan judes. Matanya yang sipit mulai kelihatan merah dan berair. Mam mulai menangis. Sundari semakin salah tingkah. Ia ingin mengatakan pada Nyonya, mungkin sebaiknya Nyonya menelepon dan menanyakan pada Tuan soal celana dalam yang diributkannya itu. Tapi, segera diurungkannya. Dengan bahasa Inggris patah-patah sambung, bagaimana mungkin ia akan mampu menjelaskan pada Nyonya? Sundari diam dalam kebingungan. Ia hanya menuruti langkah majikannya saja ketika ia bergegas menuju kamar Sundari. Sambil sesenggukan Nyonya membuka laci pakaian Sundari. Foto usang Parjo meringis di depan sepeda motor tetangga, terlihat. Sundari tersipu. Mam mengamati isi laci Sundari agak lama, dan dengan tangis yang semakin menjadi ia menenteng celana dalam murahan berukuran XL milik Sundari. Tangisnya semakin keras, meraung-raung.
Sehari itu, Nyonya mengurung diri di dalam kamar. Bahkan, ketika makan siang pun Nyonya menolak keluar. Sundari berusaha santai dengan mengerjakan rutinitasnya. Saat Nyonya memanggilnya untuk membantu memasukkan baju-bajunya ke dalam tas besar, Sundari tidak merasakan keganjilan apa pun. Besoknya, Nyonya pergi bersama tas besarnya setelah berpesan kepada Sundari untuk tidak pergi ke mana-mana. Sundari yang memang terbiasa tak pergi keluar rumah, cuma mengangguk-angguk.
Sundari mulai mampu meraba apa yang terjadi. Dulu, dua bulan lalu, Nyonya pernah marah besar kepada Tuan. Gara-garanya, Tuan terlambat pulang. Padahal, Nyonya menunggunya untuk makan malam bersama. Sampai larut malam keduanya masih riuh adu argumen. Hingga tiba-tiba, Tuan menggedor pintu kamarnya dan menyuruhnya mengambilkan peralatan P3K. Esoknya, Sundari melihat pergelangan tangan kiri Nyonya diperban. Mungkin Nyonya mencoba bunuh diri. Nyonya memang orang yang cemburuan.
Sepekan setelah kepergian Nyonya, ketika persediaan makan mendekati habis, Nyonya pulang bersama seseorang dari agen penyalur tenaga kerja yang memasokkan Sundari ke majikannya di Hong Kong.
"Cundali, kamu punya majikan mau celai. Kamu punya kelja tidak ada. Kamu dipulangkan," kata Miss Lam berusaha memberi pengertian pada Sundari. Saat itu Sundari hanya ingat Kang Parjo, suaminya di dekat sepeda motor tetangga, meringis. Padahal Sundari ingin menangis.
"Indonesia, hamaiya?" sapa seseorang dari arah samping Sundari, ketika ia sedang mengamati lalu-lintas orang di ruang tunggu Bandara Chek Lap Kok.
"Ya."
"Dipulangkan meh?" tanyanya lagi. Sundari merasa agak gerah dengan pertanyaan itu. Tapi mencoba tenang.
"Kok tahu?" katanya balik bertanya.
"Rambutnya pendek dan bawaannya sedikit ma!"
Sundari tersenyum getir. Lalu perempuan yang menyapanya itu pun duduk di sampingnya. Berbincang-bincang dengan bahasa negeri sendiri --meski Sundari merasa bahasa perempuan itu agak dibuat-buat-- Sundari merasa akan kembali ke dunianya. Tiga bulan ia harus memelajari bahasa asing patah-patah bercampur bahasa isyarat. Menelan bulat-bulat dan berusaha memahami budaya yang jelas berbeda dengannya. Berpikir itu hanyalah bagian yang harus dijalaninya untuk mewujudkan mimpi punya kehidupan yang lebih layak. Mungkin seperti Budha yang mesti menjalani Samsara sebelum mencapai Nirwana. Apalagi bila ia ingat kebiasaan majikan yang suka marah, bicara dengan membentak, tertawa ngakak, menangis sejadi-jadinya, serta-merta Sundari merasa lelah. Kelelahan yang jelas menggurat di wajahnya yang bulat.
Lalu Marni, gadis di sebelahnya itu, siapa menyangka ternyata bekerja di flat yang sama dengannya! Satu tingkat di atasnya. Marni juga dipulangkan.
"Namanya majikan ya Mbak, salah bener ya maunya bener. Hamai sin? Ngapain Mbak dipulangkan?" Marni bertanya kepada Sundari.
"Majikanku cerai. Kamu?"
"Karena celana dalam! Jisin! Dasar majikan nggak tahu diuntung! Seenaknya bilang aku cerob..."
"Celana dalam? Jangan-jangan warnanya merah muda?" potong Sundari.
"Haiya, haiya!"
"Ada renda-renda di samping kanan dan kirinya ya?"
"Haiya!!"
"Kecil, mereknya Sexygirl?"
"Haiwo!! TIM CHI CEK? Kok tahu?"
Sundari bengong, teringat ia akan celana dalam merah muda yang telah berubah jadi guntingan kain kecil tak beraturan di kamar majikannya. Nyonya bilang, "Jangan dibuang, biar Tuan tahu."
Mengingat nasibnya, nasib Marni, juga nasib majikannya, Sundari tersenyum tanpa sadar. Seseorang dengan kulit sewarna periuk gosong, di sebelah kiri pintu masuk, menyambut senyumnya. Sundari mengalihkan pandang cepat-cepat kepada Marni, "Ceritanya singkat. Nanti aku ceritakan di dalam pesawat," katanya, karena pengeras suara itu sudah meneriakkan pengumuman bahwa pesawat menuju Surabaya akan segera lepas landas.
Marni cuma mengangguk sambil melongo.***
Sang Pengembara
Cerpen: Antoni
CINTA membuatku bodoh. Sebetulnya aku membenci keadaan ini. Sudah lama aku tidak jatuh cinta. Dan tiba-tiba makhluk gaib itu datang, menyergapku dari belakang, membantingku dengan kasar, jatuhlah aku ke pelaminan.
Aku seorang pengembara, tapi kini aku terjerat tali pernikahan. Bayangkan. Seorang pengembara terjerat tali pernikahan! Pernikahan tanpa janur kuning melengkung, tanpa kelapa gading menggelantung, tanpa setandan pisang raja, melati dironce-ronce, apalagi gending Kodok Ngorek, tidak ada sama sekali. Semua berlangsung tawar, tidak semerbak, abu-abu, persis mendung menggantung.
"Ini pernikahan resmi kan, Ma?" tanyaku kepada ibu mertuaku, setelah semua tamu pulang.
"Resmi…!" Alis matanya agak menaik. "Ada naib dan petugas KUA. Sah
menurut hukum dan agama. Emangnya kenapa?"
"Ya alhamdulillah, merasa bahagia saja…," jawabku. Aku memang seorang muallaf sejak Agustus 2003. Jadi maklum belum begitu paham.
Kami pun kembali terdiam. Ibu mertuaku asyik memisah-misahkan jepitan rambut yang tadi dipakai istriku. Ada yang besar ada yang kecil, dipisahkan satu dengan lainnya. Lalu disimpan di kotak kecil-kecil. Sambil menyulut rokok, aku sandarkan punggung ke tiang kayu penyangga rumah limasan ini. Tidak ada penutup atap. Gentingnya terlihat dari bawah. Lonjoran-lonjoran bambu tampak jelas.
Aku tercenung sejenak. Teringat mendiang ibuku yang meninggal November tahun lalu. Seandainya masih hidup, tentu ia bahagia sekali menyaksikan pernikahanku. Wasiat terakhir untukku hanya satu: ia ingin melihatku bahagia.
Rambutku terasa sedikit naik. Angin bukit batu yang kering, bersirobok masuk dari pintu depan. "Aku mengalami kebahagiaan hanya pada saat berdoa saja, Bu…," gumamku dalam batin.
Pernikahan, terus terang, memang membuatku bahagia. Meski perhelatannya berlangsung sangat sederhana. Pernikahan memaksaku berhenti mengembara. Puluhan tahun aku melintasi jalanan sepi dan gelap, berteman rindu dan harapan. Kakiku melangkah tanpa kepastian. Akhirnya aku dihentikan oleh kekuatan yang tidak pernah aku pahami. Jodoh membuatku berhenti melangkah.
Sebagai pengembara, sungguh tak pernah aku mempelajari apa itu hakikat perkawinan, rumah tangga bahagia, keluarga sakinah dan sebangsanya. Jadilah aku manusia paling bodoh. Mengalami ketergagapan budaya dalam berumah tangga. Sebuah ritual tradisional yang dijalankan turun temurun oleh seluruh umat manusia di dunia ini. Dan aku tidak mengenalinya sama sekali.
Dulu, aku merasa takut menghadapi pernikahan. Dalam bayanganku, semua keperluan rumah tangga harus dipersiapkan terlebih dahulu, seperti rumah, penghasilan tetap dan kendaraan. Sejak usia 18 tahun, sudah tiga kali aku membangun rumah, hanya untuk memahami elemen-elemen pernikahan itu. Rumah pertama, mungil tapi permanen, terpaksa aku jual karena pindah ke Surabaya. Dan calon istriku pergi jadi pramugari. Terbang, selamanya.
Rumah kedua, sebetulnya aku tidak begitu berminat membangunnya untuk tujuan berumah tangga, meski pacarku cintanya tak terbatas untukku. Kubangun di pinggir jalan besar, di sebuah desa yang tenang. Aku tinggal di situ setahun lamanya, sambil menyelesaikan buku keduaku tentang meditasi. Aku jual lagi. Pacarku ke Singapura bekerja di sana.
Setelah itu, aku tidak membangun rumah lagi. Tapi membelinya. Di daerah sentra pariwisata di Jogja. Sebuah rumah joglo tua dan angker. Kubuat galeri
kecil, lumayan juga. Lukisan-lukisan karyaku sempat dibeli turis Belanda dan Belgia. Akhirnya, karena jenuh dan ada peristiwa bom Bali, aku memutuskan
mengembara lagi. Rumah itu kujual secara tergesa-gesa.
Kini, aku punya istri yang setia tapi tidak punya rumah. Dulu aku punya rumah tapi hidup sendiri tanpa istri. He..he…he, ironis kan? Sementara ini istriku tinggal bersama mamanya. Ia memang anak yatim yang didera penderitaan hidup berkepanjangan.
Aku letakkan puntung rokok terakhirku ke asbak. Ibu mertuaku ternyata sudah sejak tadi beranjak dari duduknya. Lamunanku tentang peristiwa pernikahan ini, membuatku tidak memahami lingkungan sekitarku. Aku pun beranjak, mencari istriku di bilik sebelah, bersekat tripleks.
Istriku cantik sekali. Tercantik di dunia. Ia tampak sedang sibuk memberesi pakaian pengantinnya, bedaknya dan segala tetek bengek perlengkapan gaun pengantin. Bau parfum Drakkar Noir dari Calvin Klein masih tertinggal, di ujung hidungku. Tadi, seusai resepsi, kucium dia di tengkuknya. Jadi aroma parfumnya ikut juga. Memang, itu parfum cowok. Tapi mau bagaimana lagi? Adanya cuma itu. Aku membelinya di drugstore Bandara Juanda, Surabaya dua tahun lalu, sepulang dari Makassar.
Aku cium lagi tengkuknya. Ia tersenyum manja. Kebahagiaan terpancar di wajahnya. "Mau ngopi lagi, Mas?" tanyanya. Aku menggeleng, kudekap dia dari belakang, kemudian kita saling menempelkan pipi dan mematut-matut di depan cermin. Sepasang pengantin baru yang menikah diam-diam. Aku lihat matanya berbinar-binar. Ia bahagia.
Makna kebahagiaan bagiku hanyalah setetes warna yang lebih bersinar di antara warna-warna lain yang kusam. Setiap orang yang mampu meraih segala sesuatu yang diidam-idamkan, tentu merasa bahagia. Begitu pula aku. Seringkali aku merasa lelah mengembara dan ingin hidup layak seperti pada umumnya orang dengan menikah, berkeluarga, dan beranak pinak seperti yang disampaikan Allah kepada Nabi Ibrahim.
Dua minggu menjelang pernikahan, secara khusus memang aku memohon kepada kekuatan Yang Maha Dahsyat. Kekuatan paling purba, sebelum bumi dan tata surya ini tercipta. Di bawah pohon tua berumur ratusan tahun, di atas bukit kecil yang lembab, tepat tengah malam dan purnama penuh di angkasa, aku sampaikan permohonan keramatku itu. "Aku tidak butuh kekayaan, aku butuh istri dan sebuah keluarga," begitu doaku. Kun fayakun, terjadilah segala sesuatunya secepat kilat.
Pernikahanku juga berlangsung kilat. Memang, ketemunya sudah lama, dua tahun silam di acara pernikahan seorang artis dangdut top ibu kota. Belum ada getar-getar cinta kala itu. Pertemuan kedua terjadi di Jogja, di pinggir lapangan golf Hyatt Regency, Bogeys Teras. Biasa saja, semuanya berlangsung biasa. Cuma di tengah dentuman musik classic rock yang mengalun, dia mengatakan kepadaku setengah berbisik: "Kalau mau sama aku, harus serius…," katanya.
Langsung saja aku melamarnya malam itu juga. Ia pun mencium punggung tangan kananku. Resmilah kita mengikat janji. Sepuluh hari setelah malam "bertabur bintang" itu, terjadilah pernikahanku ini. Tanpa surat undangan dan wedding taart.
Perjalanan pernikahanku memang terkesan begitu indah. Tak ada cacat,
semua berjalan baik dan tenang. Ombaknya kecil, landai, dan bisa pasang layar sesuka hati. Langit biru tampak bersahabat di ujung cakrawala dan matahari bersinar ramah.
Kunikmati pernikahanku. Sedikit unik. Biasanya jok sebelah kemudiku selalu kosong. Paling, terisi dokumen pribadi dan beberapa bungkus rokok. Kini ada wanita cantik dengan rambut tergerai, tawa yang renyah dan sangat suka memakai aksen…gitu loh. "Liya gitu loh….," katanya menegaskan bahwa Liya beda dengan Lia.
Aku jadi mudah tertawa dibuatnya. Segala kata jadi berbunga-bunga, dan kita selalu mengurung diri di kamar berdua. Bercanda, berantem kecil-kecilan, saling merajuk dan tentu saja, bercinta.
"Aku pengin punya anak 9," kataku.
"Dua saja….Capek," jawabnya sambil menepuki perutnya.
Lalu kita berpelukan lagi. Seolah tidak ada cakrawala untuk luapan kegembiraan dan kebahagiaanku. Tidak ada yang membatasi. Tidak ada garis lurus yang memisahkan. Tidak seperti langit dan bumi yang dibelah di cakrawala. Segalanya serba los, bebas dan tak terbatas. Luar biasa. Aku selalu merindukan setiap menitnya.
Tawa ceria dan segala canda itu ternyata tidak berumur lama. Begitu cepat perginya. Sama cepatnya dengan proses pernikahanku. Kebahagiaan, agaknya, tidak pernah berpihak kepadaku. Segala sesuatunya berbalik 180 derajat. Sirna seketika. Berubah serba hitam. Galau. Gelap. Bergemuruh. Menghentak-hentak dan menyambar-nyambar. Setiap kata jadi bersayap-sayap. Salah paham muncul silih berganti. Kecemburuan, kecurigaan, dan pembicaraan-pembicaraan yang penuh teka-teki pun berebut mengganggu.
Salah ucap sedikit, menjelma jadi bara api. Berkilat-kilat. Aku sampai tidak sempat berdoa karena pikiranku tersita sepenuhnya untuk istriku. Kelakuannya berubah-ubah, sulit dipahami.
"Aku ingin sendiri," katanya pelan, tapi kurasakan seperti halilintar.
Menggelegar.
"Kita ini menikah, bukan pacaran. Ini Suro…harus serba hati-hati," kataku
mengingatkan.
"Hasyaahhhh….." Mukanya jadi cemberut dan bibirnya jadi tambah lancip.
Rambutnya yang dikucir bergoyang-goyang. Meski marah, kuakui, dia tetap saja menggemaskan.
Sambil menjentikkan abu rokok ke asbak, ia pun berargumentasi tentang pernak-pernik kegalauan perasaannya. Dari soal sepele sampai besar. "Aku tuh sukanya mobil-mobilan dan korek api, bukan bunga…Sabunku juga bukan yang itu, shamponya yang ini….." Mimik mukanya agak berkerut-kerut, ketika aku bawakan setangkai red rose yang dikemas plastik cantik.
Aku berusaha menyelami segala sesuatunya dengan hati-hati. Termasuk soal rumah, yang berkali-kali dilihat masih kurang cocok di hati. Kadang jengkel juga. Namun pernikahan tidak boleh terganggu dengan perasaan-perasaan yang tidak berguna seperti itu. Pernah aku berpikir kenapa harus begitu tergesa-gesa menikah?
"Aku sudah lelah dan jenuh dengan kehidupanku selama ini. Jadi aku
memutuskan untuk cepat menikah," katanya ketika itu.
Argumentasinya itu membuatku merasa menemukan wanita yang sudah matang. Masa lalu yang carut marut memang harus diakhiri ketika pernikahan terjadi. Ketika baju pengantin dikenakan dan akad nikah ditandatangani, maka masa lalu berakhirlah di situ. Pernikahan adalah sebuah lembaran baru yang serba bersih, sehingga kita bisa menuliskan apa pun di sana sesuka hati, tanpa harus dihantui lembaran-lembaran hitam masa lalu. Kisahnya harus dibuat sesuai tata nilai yang berlaku di masyarakat. Ditata seperti mengatur sebuah taman bunga. Agar segalanya serba semerbak dan mewangi. Sampai akhirnya lembaran pamungkasnya ditutup sendiri oleh Sang Khaliq. Pemilik hak atas seluruh hukum kehidupan. Ah, lumayan juga teoriku ini.
"Hanya kematian yang bisa memisahkan sepasang pengantin," kataku kepadanya. Ia tercenung beberapa jurus. Matanya yang indah terdiam beberapa saat. Lalu bola matanya berubah jadi abu-abu. Ia pun meledak-ledak lagi. Ada bau parfum yang berbeda dari tubuhnya, ketika ia berdiri sambil bersungut-sungut. Aku terhenyak. Berangkat kantor tadi pagi, memang ia sudah terlihat kusut. Tapi aku tidak memikirkannya terlalu dalam. Sewaktu turun mobil, ia hampir lupa mencium tanganku.
"Aku suamimu bukan?" tanyaku pelan, sambil kusodorkan tangan kananku.
Ia pun menciumnya. "Nanti dijemput jam berapa?" tanyaku lagi.
"Jam empat sore. Mundur satu jam," jawabnya, sambil bergegas turun.
Prahara itu pun dimulai. Bau parfum yang berbeda sepulang kantor, menjadi puncak dari seluruh masalah yang bertumpuk. Padahal sepulang kantor tadi kami sempat melihat sekali lagi rumah yang akan kami tempati.
"Besok aku mau naik bis kota saja. Nggak usah diantar jemput lagi," ujarnya sambil membanting tubuhnya ke kasur. Ia memunggungiku. Tampak jengkel.
Aku berharap keadaan itu hanya sementara saja. Seperti permasalahan-permasalahan kecil yang terjadi di hari-hari kemarin. Ternyata tidak. Besok-besoknya lagi, tetap sama. Terus-menerus begitu. Sehari dua hari. Seminggu dua minggu. Seluruh saluran komunikasi ditutup. Ia pun ganti nomor hand phone. Aku takut membayangkan kenyataan yang bisa membuatku bersedih.
"Ini hanya sementara…," katanya ketika aku nekat menemuinya, di siang yang terik. "Sementara…," itulah kata-kata yang aku jadikan pegangan. Meski berat dan dipenuhi ribuan teka-teki, aku berusaha meyakini janjinya itu.
Kehidupanku pun limbung. Aku kembali melangkah tanpa kepastian, tak ada teman selain rindu dan harapan. Keinginanku untuk menjalani kehidupan masa lalu kembali menggelegak lagi. Mengembara. Ya, mengembara. Akulah, pengembara itu!
Aku harus kembali berteman dengan alam, dengan orang-orang yang hidup
sederhana di ujung-ujung desa, di pegunungan dan di pinggir-pinggir pantai. Bertemu orang-orang yang tulus mencintaiku, menerimaku dengan tangan terbuka, tanpa rasa curiga, saling pengertian dan tidak mengkhianati. Aku merasa bahagia. Apalagi kalau mereka berduyun-duyun di belakangku, mengikutiku berdoa.
"Tapi ya Allah, apakah Engkau tidak mengizinkan aku memiliki sebuah keluarga, keturunan, dan generasi pewaris?" gumamku ketika aku datang lagi ke pohon besar di atas bukit yang lembab itu.
Selang beberapa saat, tiba-tiba melodi Songete mengalun dari hand phoneku. Debur ombak Laut Selatan hampir membuatku tidak mendengarnya. Ada SMS masuk, dadaku berdebar.
"Jeleeeeeeeeeeeeeek…where are u? Aku kangen tho sama Jelek. Ke sini tak buatin kopi…..!" begitu bunyi SMS-nya. Dari istriku.
Ah, ternyata itu SMS yang pending sejak empat minggu lalu. ***
CINTA membuatku bodoh. Sebetulnya aku membenci keadaan ini. Sudah lama aku tidak jatuh cinta. Dan tiba-tiba makhluk gaib itu datang, menyergapku dari belakang, membantingku dengan kasar, jatuhlah aku ke pelaminan.
Aku seorang pengembara, tapi kini aku terjerat tali pernikahan. Bayangkan. Seorang pengembara terjerat tali pernikahan! Pernikahan tanpa janur kuning melengkung, tanpa kelapa gading menggelantung, tanpa setandan pisang raja, melati dironce-ronce, apalagi gending Kodok Ngorek, tidak ada sama sekali. Semua berlangsung tawar, tidak semerbak, abu-abu, persis mendung menggantung.
"Ini pernikahan resmi kan, Ma?" tanyaku kepada ibu mertuaku, setelah semua tamu pulang.
"Resmi…!" Alis matanya agak menaik. "Ada naib dan petugas KUA. Sah
menurut hukum dan agama. Emangnya kenapa?"
"Ya alhamdulillah, merasa bahagia saja…," jawabku. Aku memang seorang muallaf sejak Agustus 2003. Jadi maklum belum begitu paham.
Kami pun kembali terdiam. Ibu mertuaku asyik memisah-misahkan jepitan rambut yang tadi dipakai istriku. Ada yang besar ada yang kecil, dipisahkan satu dengan lainnya. Lalu disimpan di kotak kecil-kecil. Sambil menyulut rokok, aku sandarkan punggung ke tiang kayu penyangga rumah limasan ini. Tidak ada penutup atap. Gentingnya terlihat dari bawah. Lonjoran-lonjoran bambu tampak jelas.
Aku tercenung sejenak. Teringat mendiang ibuku yang meninggal November tahun lalu. Seandainya masih hidup, tentu ia bahagia sekali menyaksikan pernikahanku. Wasiat terakhir untukku hanya satu: ia ingin melihatku bahagia.
Rambutku terasa sedikit naik. Angin bukit batu yang kering, bersirobok masuk dari pintu depan. "Aku mengalami kebahagiaan hanya pada saat berdoa saja, Bu…," gumamku dalam batin.
Pernikahan, terus terang, memang membuatku bahagia. Meski perhelatannya berlangsung sangat sederhana. Pernikahan memaksaku berhenti mengembara. Puluhan tahun aku melintasi jalanan sepi dan gelap, berteman rindu dan harapan. Kakiku melangkah tanpa kepastian. Akhirnya aku dihentikan oleh kekuatan yang tidak pernah aku pahami. Jodoh membuatku berhenti melangkah.
Sebagai pengembara, sungguh tak pernah aku mempelajari apa itu hakikat perkawinan, rumah tangga bahagia, keluarga sakinah dan sebangsanya. Jadilah aku manusia paling bodoh. Mengalami ketergagapan budaya dalam berumah tangga. Sebuah ritual tradisional yang dijalankan turun temurun oleh seluruh umat manusia di dunia ini. Dan aku tidak mengenalinya sama sekali.
Dulu, aku merasa takut menghadapi pernikahan. Dalam bayanganku, semua keperluan rumah tangga harus dipersiapkan terlebih dahulu, seperti rumah, penghasilan tetap dan kendaraan. Sejak usia 18 tahun, sudah tiga kali aku membangun rumah, hanya untuk memahami elemen-elemen pernikahan itu. Rumah pertama, mungil tapi permanen, terpaksa aku jual karena pindah ke Surabaya. Dan calon istriku pergi jadi pramugari. Terbang, selamanya.
Rumah kedua, sebetulnya aku tidak begitu berminat membangunnya untuk tujuan berumah tangga, meski pacarku cintanya tak terbatas untukku. Kubangun di pinggir jalan besar, di sebuah desa yang tenang. Aku tinggal di situ setahun lamanya, sambil menyelesaikan buku keduaku tentang meditasi. Aku jual lagi. Pacarku ke Singapura bekerja di sana.
Setelah itu, aku tidak membangun rumah lagi. Tapi membelinya. Di daerah sentra pariwisata di Jogja. Sebuah rumah joglo tua dan angker. Kubuat galeri
kecil, lumayan juga. Lukisan-lukisan karyaku sempat dibeli turis Belanda dan Belgia. Akhirnya, karena jenuh dan ada peristiwa bom Bali, aku memutuskan
mengembara lagi. Rumah itu kujual secara tergesa-gesa.
Kini, aku punya istri yang setia tapi tidak punya rumah. Dulu aku punya rumah tapi hidup sendiri tanpa istri. He..he…he, ironis kan? Sementara ini istriku tinggal bersama mamanya. Ia memang anak yatim yang didera penderitaan hidup berkepanjangan.
Aku letakkan puntung rokok terakhirku ke asbak. Ibu mertuaku ternyata sudah sejak tadi beranjak dari duduknya. Lamunanku tentang peristiwa pernikahan ini, membuatku tidak memahami lingkungan sekitarku. Aku pun beranjak, mencari istriku di bilik sebelah, bersekat tripleks.
Istriku cantik sekali. Tercantik di dunia. Ia tampak sedang sibuk memberesi pakaian pengantinnya, bedaknya dan segala tetek bengek perlengkapan gaun pengantin. Bau parfum Drakkar Noir dari Calvin Klein masih tertinggal, di ujung hidungku. Tadi, seusai resepsi, kucium dia di tengkuknya. Jadi aroma parfumnya ikut juga. Memang, itu parfum cowok. Tapi mau bagaimana lagi? Adanya cuma itu. Aku membelinya di drugstore Bandara Juanda, Surabaya dua tahun lalu, sepulang dari Makassar.
Aku cium lagi tengkuknya. Ia tersenyum manja. Kebahagiaan terpancar di wajahnya. "Mau ngopi lagi, Mas?" tanyanya. Aku menggeleng, kudekap dia dari belakang, kemudian kita saling menempelkan pipi dan mematut-matut di depan cermin. Sepasang pengantin baru yang menikah diam-diam. Aku lihat matanya berbinar-binar. Ia bahagia.
Makna kebahagiaan bagiku hanyalah setetes warna yang lebih bersinar di antara warna-warna lain yang kusam. Setiap orang yang mampu meraih segala sesuatu yang diidam-idamkan, tentu merasa bahagia. Begitu pula aku. Seringkali aku merasa lelah mengembara dan ingin hidup layak seperti pada umumnya orang dengan menikah, berkeluarga, dan beranak pinak seperti yang disampaikan Allah kepada Nabi Ibrahim.
Dua minggu menjelang pernikahan, secara khusus memang aku memohon kepada kekuatan Yang Maha Dahsyat. Kekuatan paling purba, sebelum bumi dan tata surya ini tercipta. Di bawah pohon tua berumur ratusan tahun, di atas bukit kecil yang lembab, tepat tengah malam dan purnama penuh di angkasa, aku sampaikan permohonan keramatku itu. "Aku tidak butuh kekayaan, aku butuh istri dan sebuah keluarga," begitu doaku. Kun fayakun, terjadilah segala sesuatunya secepat kilat.
Pernikahanku juga berlangsung kilat. Memang, ketemunya sudah lama, dua tahun silam di acara pernikahan seorang artis dangdut top ibu kota. Belum ada getar-getar cinta kala itu. Pertemuan kedua terjadi di Jogja, di pinggir lapangan golf Hyatt Regency, Bogeys Teras. Biasa saja, semuanya berlangsung biasa. Cuma di tengah dentuman musik classic rock yang mengalun, dia mengatakan kepadaku setengah berbisik: "Kalau mau sama aku, harus serius…," katanya.
Langsung saja aku melamarnya malam itu juga. Ia pun mencium punggung tangan kananku. Resmilah kita mengikat janji. Sepuluh hari setelah malam "bertabur bintang" itu, terjadilah pernikahanku ini. Tanpa surat undangan dan wedding taart.
Perjalanan pernikahanku memang terkesan begitu indah. Tak ada cacat,
semua berjalan baik dan tenang. Ombaknya kecil, landai, dan bisa pasang layar sesuka hati. Langit biru tampak bersahabat di ujung cakrawala dan matahari bersinar ramah.
Kunikmati pernikahanku. Sedikit unik. Biasanya jok sebelah kemudiku selalu kosong. Paling, terisi dokumen pribadi dan beberapa bungkus rokok. Kini ada wanita cantik dengan rambut tergerai, tawa yang renyah dan sangat suka memakai aksen…gitu loh. "Liya gitu loh….," katanya menegaskan bahwa Liya beda dengan Lia.
Aku jadi mudah tertawa dibuatnya. Segala kata jadi berbunga-bunga, dan kita selalu mengurung diri di kamar berdua. Bercanda, berantem kecil-kecilan, saling merajuk dan tentu saja, bercinta.
"Aku pengin punya anak 9," kataku.
"Dua saja….Capek," jawabnya sambil menepuki perutnya.
Lalu kita berpelukan lagi. Seolah tidak ada cakrawala untuk luapan kegembiraan dan kebahagiaanku. Tidak ada yang membatasi. Tidak ada garis lurus yang memisahkan. Tidak seperti langit dan bumi yang dibelah di cakrawala. Segalanya serba los, bebas dan tak terbatas. Luar biasa. Aku selalu merindukan setiap menitnya.
Tawa ceria dan segala canda itu ternyata tidak berumur lama. Begitu cepat perginya. Sama cepatnya dengan proses pernikahanku. Kebahagiaan, agaknya, tidak pernah berpihak kepadaku. Segala sesuatunya berbalik 180 derajat. Sirna seketika. Berubah serba hitam. Galau. Gelap. Bergemuruh. Menghentak-hentak dan menyambar-nyambar. Setiap kata jadi bersayap-sayap. Salah paham muncul silih berganti. Kecemburuan, kecurigaan, dan pembicaraan-pembicaraan yang penuh teka-teki pun berebut mengganggu.
Salah ucap sedikit, menjelma jadi bara api. Berkilat-kilat. Aku sampai tidak sempat berdoa karena pikiranku tersita sepenuhnya untuk istriku. Kelakuannya berubah-ubah, sulit dipahami.
"Aku ingin sendiri," katanya pelan, tapi kurasakan seperti halilintar.
Menggelegar.
"Kita ini menikah, bukan pacaran. Ini Suro…harus serba hati-hati," kataku
mengingatkan.
"Hasyaahhhh….." Mukanya jadi cemberut dan bibirnya jadi tambah lancip.
Rambutnya yang dikucir bergoyang-goyang. Meski marah, kuakui, dia tetap saja menggemaskan.
Sambil menjentikkan abu rokok ke asbak, ia pun berargumentasi tentang pernak-pernik kegalauan perasaannya. Dari soal sepele sampai besar. "Aku tuh sukanya mobil-mobilan dan korek api, bukan bunga…Sabunku juga bukan yang itu, shamponya yang ini….." Mimik mukanya agak berkerut-kerut, ketika aku bawakan setangkai red rose yang dikemas plastik cantik.
Aku berusaha menyelami segala sesuatunya dengan hati-hati. Termasuk soal rumah, yang berkali-kali dilihat masih kurang cocok di hati. Kadang jengkel juga. Namun pernikahan tidak boleh terganggu dengan perasaan-perasaan yang tidak berguna seperti itu. Pernah aku berpikir kenapa harus begitu tergesa-gesa menikah?
"Aku sudah lelah dan jenuh dengan kehidupanku selama ini. Jadi aku
memutuskan untuk cepat menikah," katanya ketika itu.
Argumentasinya itu membuatku merasa menemukan wanita yang sudah matang. Masa lalu yang carut marut memang harus diakhiri ketika pernikahan terjadi. Ketika baju pengantin dikenakan dan akad nikah ditandatangani, maka masa lalu berakhirlah di situ. Pernikahan adalah sebuah lembaran baru yang serba bersih, sehingga kita bisa menuliskan apa pun di sana sesuka hati, tanpa harus dihantui lembaran-lembaran hitam masa lalu. Kisahnya harus dibuat sesuai tata nilai yang berlaku di masyarakat. Ditata seperti mengatur sebuah taman bunga. Agar segalanya serba semerbak dan mewangi. Sampai akhirnya lembaran pamungkasnya ditutup sendiri oleh Sang Khaliq. Pemilik hak atas seluruh hukum kehidupan. Ah, lumayan juga teoriku ini.
"Hanya kematian yang bisa memisahkan sepasang pengantin," kataku kepadanya. Ia tercenung beberapa jurus. Matanya yang indah terdiam beberapa saat. Lalu bola matanya berubah jadi abu-abu. Ia pun meledak-ledak lagi. Ada bau parfum yang berbeda dari tubuhnya, ketika ia berdiri sambil bersungut-sungut. Aku terhenyak. Berangkat kantor tadi pagi, memang ia sudah terlihat kusut. Tapi aku tidak memikirkannya terlalu dalam. Sewaktu turun mobil, ia hampir lupa mencium tanganku.
"Aku suamimu bukan?" tanyaku pelan, sambil kusodorkan tangan kananku.
Ia pun menciumnya. "Nanti dijemput jam berapa?" tanyaku lagi.
"Jam empat sore. Mundur satu jam," jawabnya, sambil bergegas turun.
Prahara itu pun dimulai. Bau parfum yang berbeda sepulang kantor, menjadi puncak dari seluruh masalah yang bertumpuk. Padahal sepulang kantor tadi kami sempat melihat sekali lagi rumah yang akan kami tempati.
"Besok aku mau naik bis kota saja. Nggak usah diantar jemput lagi," ujarnya sambil membanting tubuhnya ke kasur. Ia memunggungiku. Tampak jengkel.
Aku berharap keadaan itu hanya sementara saja. Seperti permasalahan-permasalahan kecil yang terjadi di hari-hari kemarin. Ternyata tidak. Besok-besoknya lagi, tetap sama. Terus-menerus begitu. Sehari dua hari. Seminggu dua minggu. Seluruh saluran komunikasi ditutup. Ia pun ganti nomor hand phone. Aku takut membayangkan kenyataan yang bisa membuatku bersedih.
"Ini hanya sementara…," katanya ketika aku nekat menemuinya, di siang yang terik. "Sementara…," itulah kata-kata yang aku jadikan pegangan. Meski berat dan dipenuhi ribuan teka-teki, aku berusaha meyakini janjinya itu.
Kehidupanku pun limbung. Aku kembali melangkah tanpa kepastian, tak ada teman selain rindu dan harapan. Keinginanku untuk menjalani kehidupan masa lalu kembali menggelegak lagi. Mengembara. Ya, mengembara. Akulah, pengembara itu!
Aku harus kembali berteman dengan alam, dengan orang-orang yang hidup
sederhana di ujung-ujung desa, di pegunungan dan di pinggir-pinggir pantai. Bertemu orang-orang yang tulus mencintaiku, menerimaku dengan tangan terbuka, tanpa rasa curiga, saling pengertian dan tidak mengkhianati. Aku merasa bahagia. Apalagi kalau mereka berduyun-duyun di belakangku, mengikutiku berdoa.
"Tapi ya Allah, apakah Engkau tidak mengizinkan aku memiliki sebuah keluarga, keturunan, dan generasi pewaris?" gumamku ketika aku datang lagi ke pohon besar di atas bukit yang lembab itu.
Selang beberapa saat, tiba-tiba melodi Songete mengalun dari hand phoneku. Debur ombak Laut Selatan hampir membuatku tidak mendengarnya. Ada SMS masuk, dadaku berdebar.
"Jeleeeeeeeeeeeeeek…where are u? Aku kangen tho sama Jelek. Ke sini tak buatin kopi…..!" begitu bunyi SMS-nya. Dari istriku.
Ah, ternyata itu SMS yang pending sejak empat minggu lalu. ***
Lelaki Muda dan Gadis Kecil
Cerpen Susialine Adelia
"Tamu Bu," Bibi membungkuk santun, mengarahkan ibu jarinya ke ruang depan.
"Siapa?" tanyaku sambil melipat koran, melepas kaca mata.
"Tidak tahu Bu, belum pernah ke mari."
Aku mengangguk. Bangkit dengan benak penuh tanya, aku yakin tamu itu bukan teman bisnisku, karena ini hari Minggu. Bukan pula saudara, karena biasanya mereka menelepon lebih dulu memastikan aku ada di rumah. Mungkin saudara jauh atau teman lama yang tidak tahu adat kebiasaanku? Bisa jadi.
Begitu membuka pintu kudapati seorang lelaki muda dan gadis kecil yang tengah bercanda di teras. Lelaki itu berkulit coklat terbakar matahari, berpakaian agak lusuh. Si gadis kecil berkulit lebih terang, berbaju baru dengan bahan kualitas rendah. Ketika gadis itu menoleh padaku, segera kutangkap sinar di wajahnya yang membuatku terkesiap beberapa saat. Sinar wajah itu tak asing bagiku. Meski bentuk hidung dan mata kedua tamu itu sama --yang membuatku bisa segera menyimpulkan bahwa mereka adalah bapak dan anak-- namun kutemui sinar lain di wajah anak itu.
Lelaki muda itu menoleh ke pintu, ke arahku. Seketika dia berdiri, mengangguk sedikit dan mengucap selamat siang. Aku menjawab dengan sedikit goyangan kepala. Sedikit saja. Tawa kecil si gadis kecil pun terhenti. Kupersilakan keduanya masuk, masih dengan jantung yang sedikit berdebar. Siapa mereka? Lelaki lusuh dengan sorot mata tajam. Jelas kemari bukan untuk minta sumbangan.
Setelah kami duduk, dia mulai memperkenalkan dirinya.
"Saya Jaya, Tante. Dan ini Neyla," katanya sambil meletakkan tangannya di bahu gadis kecil itu.
Neyla. Nama yang begitu mirip dengan nama anak gadisku dulu, Neyna.
"Maaf, mengganggu hari libur Tante," katanya. Suaranya mantap dengan intonasi jelas dan tatap mata yang begitu percaya dirinya.
Aku yakin dia bukan orang sembarangan. Cara dia berbicara dan tatap mata itu, tidak dimiliki oleh sembarang orang. Untung aku memperlakukannya dengan baik, batinku. Kutatap dia lebih lekat, mencoba menjajaki lebih dalam siapa sebenarnya laki-laki di depanku itu. Dia cukup tampan. Mungkin kemelaratan membuatnya kurang terawat dan tampak lebih tua dari usia sebenarnya.
"Saya ada titipan dari Neyna."
Neyna. Dia menyebut nama itu! Seketika menegang otot-ototku.
"Maaf baru bisa menyampaikan sekarang," lanjutnya. "Sangat terlambat, tetapi memang baru sekarang kami sempat ke kota ini."
Dia keluarkan dari tasnya yang kumal sebuah bungkusan pipih dan diulurkannya padaku. Kuterima bungkusan itu dan kubuka salah satu sisinya. Foto kami. Aku, suamiku, Andreas, dan Neyna. Foto yang dibuat ketika dua anak kami masih kecil. Mungkin Neyna baru seusia gadis di depanku itu. Jadi Neyna yang telah mengambil foto ini dari ruang tengah, batinku.
"Neyna minta maaf tidak minta izin mengambilnya dan minta tolong saya mengembalikannya kemari."
"Kenapa bukan dia sendiri yang mengembalikannya pada kami?" keramahan yang baru mulai muncul seketika sirna. Sikapku berubah dingin dan kaku.
Ingatan pada Neyna, anak perempuanku itu telah membuka kembali luka masa lalu. Masih jelas dalam ingatan betapa anak yang kukandung, kulahirkan dan kubesarkan itu tega menampar-nampar wajahku. Aku tak tahu, apa yang telah merasukinya. Neyna yang begitu manis dan menyegarkan hari-hari kami sekeluarga, sedikit demi sedikit mulai berubah begitu masuk kuliah dulu. Awalnya, hanya ikut kegiatan kemahasiswaan saja. Selanjutnya dia lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman di organisasi mahasiswa. Waktu itu aku mulai menegurnya. Kami sempat berdebat sebelum akhirnya tercapai kesepakatan bahwa aku tidak akan melarangnya berkegiatan selama dia mampu mempertahankan prestasi akademiknya.
Lama-lama dia mulai malas pulang. Rumah hanya dijadikan tempat singgah, tempat menyimpan barang yang diperlukannya kadang-kadang. Komunikasinya denganku menurun drastis. Aku yang dulu berfungsi sebagai teman ngobrol berubah menjadi kasir yang hanya ditemui pada saat butuh duit. Begitu jarangnya dia pulang hingga kadang aku terkaget-kaget ketika bertemu. Anak gadisku yang cantik, bersih, dan wangi tiba-tiba kutemui telah jadi malas merawat diri. Dia datang menemuiku dengan wajah tirus, mata lelah, dan baju yang apek. Bahkan pertemuan selanjutnya tidak kutemui lagi rambut hitamnya yang dulu lebat dan indah dengan poni yang membuatnya seperti boneka Barbee. Rambut itu telah dipangkas pendek karena dia merasa terlalu ribet mengurusnya.
Aku mulai punya alasan untuk marah dan melarangnya berkegiatan, tetapi dia membantah. Bahkan terang-terangan menyatakan sikapnya terhadapku. Mengkritik aku yang katanya otoriter, menjalankan kepemimpinan rumah tangga dan perusahaan sekehendakku, tanpa mau mendengar usulan dan suara ketertindasan orang lain. Siapa tak akan terbakar? Tahu apa dia tentang kehidupan rumah tangga? Apalagi tentang perusahaan. Tak sadarkah dia bahwa perusahaanlah yang membuatnya bisa hidup seperti sekarang?
"Perusahaan itu tumpuan hidup kita. Kamu tidak perlu mencampuri urusanku di sana karena kehancuran perusahaan berarti kehancuran hidup kita," kataku pelan namun tajam.
"Ya, memang perusahaan itu yang membuat kita jaya dan kaya-raya. Tetapi ingat Ma, itu bukan hasil kerja Mama. Para buruh itulah tulang punggungnya. Dan selama ini Mama dengan atas nama perusahaan telah memeras tenaga mereka tanpa imbalan yang sepadan," teriak Neyna lantang.
Aku meradang. "Kalau tak suka dengan cara kerjaku, jangan makan dari hasil kerjaku. Pergi, carilah makan sendiri atau tetap tinggal di sini dan kunci mulutmu!"
Di luar dugaan, benar-benar di luar dugaan, Neyna menerima tantanganku. Dia memilih keluar dari rumah. Meninggalkan kehidupan yang tak ada kurangnya ini dan menggantinya dengan kehidupan liar. Kehidupan yang serba tak tentu. Tidur di mana pun dan makan dari siapa pun. Entah seperti apa tepatnya, aku tak bisa membayangkan.
Pernah aku berniat menyusulnya karena tak tega, tetapi sebelum niat itu kesampian dia justru memimpin demo karyawan menuntut perbaikan kesejahteraan. Maka tidak sekadar gagal keinginanku menjemputnya, tetapi lebur juga maafku untuknya. Sejak itu aku tak mau berpikir tentang anak itu lagi. Dia kuanggap sudah hilang atau mati. Dia sudah bukan anakku lagi! Rupanya kepergiannya waktu itu sambil membawa foto yang sekarang ada di tanganku ini.
"Kenapa tak dia kembalikan sendiri foto ini?" tanyaku dengan sisa kemarahan masa lalu.
"Dia tak bisa," jawab Jaya.
"Kenapa?" tanyaku. "Takut bertemu denganku?"
"Bukan," Jaya menggeleng lemah. Berkedip-kedip sebentar. "Dia tak bisa menemui siapa pun lagi," lanjutnya pelan sambil menahan napas.
"Sakit?" tanyaku masih dengan keangkuhan.Jaya menggeleng. Tanpa menatapku dia berkata-kata, "Neyna sudah…. pergi. Setengah tahun lalu." Dan laki-laki di hadapanku itu pun mengusap air matanya yang mengambang.Aku menghempaskan diri. Tak sengaja. Memang aku begitu terluka oleh ulahnya dan meniatkan tak menganggapnya lagi sebagai putriku, tetapi kabar ini begitu mencabik perasaanku. Neyna, putri cantikku itu telah pergi selamanya…
"Maafkan, saya tak bisa menjaganya," laki-laki itu telah mampu menguasai perasaannya. Sikapnya kembali tenang. "Semuanya berjalan begitu cepat. Suatu hari tiba-tiba saya jumpai Neyna muntah darah. Saat itu juga saya bawa dia ke rumah sakit. Beberapa hari di sana, dokter menganjurkan agar dibawa pulang saja. Kanker ganas di paru-parunya telah menjalar ke organ-organ lain dan tim medis sudah tidak bisa berbuat apa-apa," dia berhenti sebentar, menghela napas. " Salah saya, selama ini tak pernah memperhatikan kesehatannya."
Kami saling diam beberapa saat lamanya. Masing-masing larut dengan kenangan dan penyesalan.
"Kau suaminya?" tanyaku kemudian dengan nada yang lebih lunak.
Dia menatapku sebentar sebelum mengangguk ragu. "Maaf, saya tak minta izin Tante lebih dulu."
"Jadi ini anak Neyna," kataku lirih, hampir pada diri sendiri. "Kalau boleh, biar aku yang mengasuhnya," kataku tiba-tiba.Jaya tersenyum. "Makasih Tante, dia adalah napas saya. Jadi tak mungkin saya berpisah dengannya. Meskipun saya tak mungkin memberi kemewahan padanya."
Aku cukup tertampar dengan jawabannya. Tapi kutahan tak memberi reaksi apa pun pada jawaban itu.
Tak lama kemudian laki-laki itu minta diri. Kuantar sampai pagar. Sambil kubuka pintu, sempat kutanya, di mana mereka tinggal."Kami di lereng Gunung Geni. Saya bekerja bersama penduduk yang terancam kehilangan kehidupan mereka, karena rencana pembangunan taman nasional," jawab Jaya.
Lalu mereka pun berlalu. Sebelum angkot yang mereka tumpangi benar-benar berlalu, masih sempat kulihat lambaian tangan mungil anak Jaya padaku yang kubalas dengan lambaian pula.
Aku masih berdiri di pagar sekalipun kedua tamuku telah lenyap bersama angkot yang membawa mereka. Tiba-tiba aku teringat, sebentar lagi suamiku pulang. Dan dia tak boleh tahu apa yang terjadi. Jadi segera kututup pagar dan melangkah masuk. Membasuh muka lalu kembali duduk di depan tivi, sambil membuka-buka halaman koran Minggu. ***
"Tamu Bu," Bibi membungkuk santun, mengarahkan ibu jarinya ke ruang depan.
"Siapa?" tanyaku sambil melipat koran, melepas kaca mata.
"Tidak tahu Bu, belum pernah ke mari."
Aku mengangguk. Bangkit dengan benak penuh tanya, aku yakin tamu itu bukan teman bisnisku, karena ini hari Minggu. Bukan pula saudara, karena biasanya mereka menelepon lebih dulu memastikan aku ada di rumah. Mungkin saudara jauh atau teman lama yang tidak tahu adat kebiasaanku? Bisa jadi.
Begitu membuka pintu kudapati seorang lelaki muda dan gadis kecil yang tengah bercanda di teras. Lelaki itu berkulit coklat terbakar matahari, berpakaian agak lusuh. Si gadis kecil berkulit lebih terang, berbaju baru dengan bahan kualitas rendah. Ketika gadis itu menoleh padaku, segera kutangkap sinar di wajahnya yang membuatku terkesiap beberapa saat. Sinar wajah itu tak asing bagiku. Meski bentuk hidung dan mata kedua tamu itu sama --yang membuatku bisa segera menyimpulkan bahwa mereka adalah bapak dan anak-- namun kutemui sinar lain di wajah anak itu.
Lelaki muda itu menoleh ke pintu, ke arahku. Seketika dia berdiri, mengangguk sedikit dan mengucap selamat siang. Aku menjawab dengan sedikit goyangan kepala. Sedikit saja. Tawa kecil si gadis kecil pun terhenti. Kupersilakan keduanya masuk, masih dengan jantung yang sedikit berdebar. Siapa mereka? Lelaki lusuh dengan sorot mata tajam. Jelas kemari bukan untuk minta sumbangan.
Setelah kami duduk, dia mulai memperkenalkan dirinya.
"Saya Jaya, Tante. Dan ini Neyla," katanya sambil meletakkan tangannya di bahu gadis kecil itu.
Neyla. Nama yang begitu mirip dengan nama anak gadisku dulu, Neyna.
"Maaf, mengganggu hari libur Tante," katanya. Suaranya mantap dengan intonasi jelas dan tatap mata yang begitu percaya dirinya.
Aku yakin dia bukan orang sembarangan. Cara dia berbicara dan tatap mata itu, tidak dimiliki oleh sembarang orang. Untung aku memperlakukannya dengan baik, batinku. Kutatap dia lebih lekat, mencoba menjajaki lebih dalam siapa sebenarnya laki-laki di depanku itu. Dia cukup tampan. Mungkin kemelaratan membuatnya kurang terawat dan tampak lebih tua dari usia sebenarnya.
"Saya ada titipan dari Neyna."
Neyna. Dia menyebut nama itu! Seketika menegang otot-ototku.
"Maaf baru bisa menyampaikan sekarang," lanjutnya. "Sangat terlambat, tetapi memang baru sekarang kami sempat ke kota ini."
Dia keluarkan dari tasnya yang kumal sebuah bungkusan pipih dan diulurkannya padaku. Kuterima bungkusan itu dan kubuka salah satu sisinya. Foto kami. Aku, suamiku, Andreas, dan Neyna. Foto yang dibuat ketika dua anak kami masih kecil. Mungkin Neyna baru seusia gadis di depanku itu. Jadi Neyna yang telah mengambil foto ini dari ruang tengah, batinku.
"Neyna minta maaf tidak minta izin mengambilnya dan minta tolong saya mengembalikannya kemari."
"Kenapa bukan dia sendiri yang mengembalikannya pada kami?" keramahan yang baru mulai muncul seketika sirna. Sikapku berubah dingin dan kaku.
Ingatan pada Neyna, anak perempuanku itu telah membuka kembali luka masa lalu. Masih jelas dalam ingatan betapa anak yang kukandung, kulahirkan dan kubesarkan itu tega menampar-nampar wajahku. Aku tak tahu, apa yang telah merasukinya. Neyna yang begitu manis dan menyegarkan hari-hari kami sekeluarga, sedikit demi sedikit mulai berubah begitu masuk kuliah dulu. Awalnya, hanya ikut kegiatan kemahasiswaan saja. Selanjutnya dia lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman di organisasi mahasiswa. Waktu itu aku mulai menegurnya. Kami sempat berdebat sebelum akhirnya tercapai kesepakatan bahwa aku tidak akan melarangnya berkegiatan selama dia mampu mempertahankan prestasi akademiknya.
Lama-lama dia mulai malas pulang. Rumah hanya dijadikan tempat singgah, tempat menyimpan barang yang diperlukannya kadang-kadang. Komunikasinya denganku menurun drastis. Aku yang dulu berfungsi sebagai teman ngobrol berubah menjadi kasir yang hanya ditemui pada saat butuh duit. Begitu jarangnya dia pulang hingga kadang aku terkaget-kaget ketika bertemu. Anak gadisku yang cantik, bersih, dan wangi tiba-tiba kutemui telah jadi malas merawat diri. Dia datang menemuiku dengan wajah tirus, mata lelah, dan baju yang apek. Bahkan pertemuan selanjutnya tidak kutemui lagi rambut hitamnya yang dulu lebat dan indah dengan poni yang membuatnya seperti boneka Barbee. Rambut itu telah dipangkas pendek karena dia merasa terlalu ribet mengurusnya.
Aku mulai punya alasan untuk marah dan melarangnya berkegiatan, tetapi dia membantah. Bahkan terang-terangan menyatakan sikapnya terhadapku. Mengkritik aku yang katanya otoriter, menjalankan kepemimpinan rumah tangga dan perusahaan sekehendakku, tanpa mau mendengar usulan dan suara ketertindasan orang lain. Siapa tak akan terbakar? Tahu apa dia tentang kehidupan rumah tangga? Apalagi tentang perusahaan. Tak sadarkah dia bahwa perusahaanlah yang membuatnya bisa hidup seperti sekarang?
"Perusahaan itu tumpuan hidup kita. Kamu tidak perlu mencampuri urusanku di sana karena kehancuran perusahaan berarti kehancuran hidup kita," kataku pelan namun tajam.
"Ya, memang perusahaan itu yang membuat kita jaya dan kaya-raya. Tetapi ingat Ma, itu bukan hasil kerja Mama. Para buruh itulah tulang punggungnya. Dan selama ini Mama dengan atas nama perusahaan telah memeras tenaga mereka tanpa imbalan yang sepadan," teriak Neyna lantang.
Aku meradang. "Kalau tak suka dengan cara kerjaku, jangan makan dari hasil kerjaku. Pergi, carilah makan sendiri atau tetap tinggal di sini dan kunci mulutmu!"
Di luar dugaan, benar-benar di luar dugaan, Neyna menerima tantanganku. Dia memilih keluar dari rumah. Meninggalkan kehidupan yang tak ada kurangnya ini dan menggantinya dengan kehidupan liar. Kehidupan yang serba tak tentu. Tidur di mana pun dan makan dari siapa pun. Entah seperti apa tepatnya, aku tak bisa membayangkan.
Pernah aku berniat menyusulnya karena tak tega, tetapi sebelum niat itu kesampian dia justru memimpin demo karyawan menuntut perbaikan kesejahteraan. Maka tidak sekadar gagal keinginanku menjemputnya, tetapi lebur juga maafku untuknya. Sejak itu aku tak mau berpikir tentang anak itu lagi. Dia kuanggap sudah hilang atau mati. Dia sudah bukan anakku lagi! Rupanya kepergiannya waktu itu sambil membawa foto yang sekarang ada di tanganku ini.
"Kenapa tak dia kembalikan sendiri foto ini?" tanyaku dengan sisa kemarahan masa lalu.
"Dia tak bisa," jawab Jaya.
"Kenapa?" tanyaku. "Takut bertemu denganku?"
"Bukan," Jaya menggeleng lemah. Berkedip-kedip sebentar. "Dia tak bisa menemui siapa pun lagi," lanjutnya pelan sambil menahan napas.
"Sakit?" tanyaku masih dengan keangkuhan.Jaya menggeleng. Tanpa menatapku dia berkata-kata, "Neyna sudah…. pergi. Setengah tahun lalu." Dan laki-laki di hadapanku itu pun mengusap air matanya yang mengambang.Aku menghempaskan diri. Tak sengaja. Memang aku begitu terluka oleh ulahnya dan meniatkan tak menganggapnya lagi sebagai putriku, tetapi kabar ini begitu mencabik perasaanku. Neyna, putri cantikku itu telah pergi selamanya…
"Maafkan, saya tak bisa menjaganya," laki-laki itu telah mampu menguasai perasaannya. Sikapnya kembali tenang. "Semuanya berjalan begitu cepat. Suatu hari tiba-tiba saya jumpai Neyna muntah darah. Saat itu juga saya bawa dia ke rumah sakit. Beberapa hari di sana, dokter menganjurkan agar dibawa pulang saja. Kanker ganas di paru-parunya telah menjalar ke organ-organ lain dan tim medis sudah tidak bisa berbuat apa-apa," dia berhenti sebentar, menghela napas. " Salah saya, selama ini tak pernah memperhatikan kesehatannya."
Kami saling diam beberapa saat lamanya. Masing-masing larut dengan kenangan dan penyesalan.
"Kau suaminya?" tanyaku kemudian dengan nada yang lebih lunak.
Dia menatapku sebentar sebelum mengangguk ragu. "Maaf, saya tak minta izin Tante lebih dulu."
"Jadi ini anak Neyna," kataku lirih, hampir pada diri sendiri. "Kalau boleh, biar aku yang mengasuhnya," kataku tiba-tiba.Jaya tersenyum. "Makasih Tante, dia adalah napas saya. Jadi tak mungkin saya berpisah dengannya. Meskipun saya tak mungkin memberi kemewahan padanya."
Aku cukup tertampar dengan jawabannya. Tapi kutahan tak memberi reaksi apa pun pada jawaban itu.
Tak lama kemudian laki-laki itu minta diri. Kuantar sampai pagar. Sambil kubuka pintu, sempat kutanya, di mana mereka tinggal."Kami di lereng Gunung Geni. Saya bekerja bersama penduduk yang terancam kehilangan kehidupan mereka, karena rencana pembangunan taman nasional," jawab Jaya.
Lalu mereka pun berlalu. Sebelum angkot yang mereka tumpangi benar-benar berlalu, masih sempat kulihat lambaian tangan mungil anak Jaya padaku yang kubalas dengan lambaian pula.
Aku masih berdiri di pagar sekalipun kedua tamuku telah lenyap bersama angkot yang membawa mereka. Tiba-tiba aku teringat, sebentar lagi suamiku pulang. Dan dia tak boleh tahu apa yang terjadi. Jadi segera kututup pagar dan melangkah masuk. Membasuh muka lalu kembali duduk di depan tivi, sambil membuka-buka halaman koran Minggu. ***
Perempuan Kecil Bermata Belati
Cerpen Ahmadun Yosi Herfanda
Mulanya hanyalah seorang pengemis kecil yang kudorong dengan kasar sehingga jatuh terduduk ke gundukan batu-batu. Muncul dari sekelompok pengemis yang menunggu para pendaki di tepi jalan setapak menuju Gua Hira, gadis kecil itu mencegatku di deretan paling depan dan langsung menggelayuti sajadahku dengan cengkeraman yang begitu kuat. "Ana miskin...ana miskin...," rengeknya dengan tatapan mata iba sambil menadahkan tangan kanannya ke dadaku.
Ketika itu aku benar-benar kehabisan uang kecil, karena terlalu banyaknya pengemis di sepanjang jalan setapak itu --konon mereka datang dari daerah-daerah miskin di Asia Tengah. Kalaupun masih ada uang receh di dompetku, paling kecil 10 dinar dan ini pecahan yang tidak lazim dibagikan kepada pengemis. Tetapi, ternyata tidak gampang untuk menolak pengemis-pengemis yang rata-rata masih di bawah umur itu. Mereka akan menggelayuti tangan, ujung baju, sarung, sajadah, atau apa saja, untuk memaksa pendaki memberi mereka uang receh.
Begitulah dengan gadis kecil yang menggelayuti ujung sajadahku, sehingga aku sulit untuk meneruskan perjalanan. Barkali-kali aku mencoba menolaknya dengan halus, dengan bahasa Inggris campur Arab, "No money... no more... no more.... La... la... Ana laisa fulus... laisa fulus...Halas...halas!" kataku sambil menggerakkan tangan dengan isyarat menolak, dengan harapan ia mengerti maksudku dan segera melepaskan ujung sajadahku.
Tapi, gadis kecil itu masih menggelayut begitu kuat di ujung sajadahku, sampai terjadi tarik-menarik sajadah antara aku dengan si kecil yang punya "daya juang" tinggi itu. Maka, dengan agak marah, kutarik sekeras-kerasnya sajadahku, lepas dari cengkeramannya. Dan, ketika gadis kecil itu tetap memburuku untuk meraih ujung baju kokoku, kuhempaskan dia dengan kasar, sehingga terhuyung-huyung jatuh terduduk ke atas gundukan batu-batu. "Ana miskin... ana miskin...," rengeknya dengan tatapan mata cokelat yang makin mengiba ke arahku.
Dan, tatapan itulah yang terus memburuku, terus menusuk-nusuk ulu hatiku, sampai aku kembali ke hotel. Saat makan malam, tiap menjelang shalat, dan terutama menjelang tidur, mata cokelat perempuan kecil itu seperti hadir kembali dengan seluruh dirinya. Wajahnya yang oval dengan hidung mancung, alisnya yang tebal dengan mata cokelat bulat lebar --wajah khas Afghanistan-- dengan rambut panjang hitam kemerahan dikepang dua, seakan hadir seluruhnya dengan begitu nyata. Dan, suaranya seperti terngiang-ngiang kembali di telingaku, "Ana miskin... ana miskin..
Perempuan kecil itu sebenarnya sangat cantik. Setidaknya, di atas rata-rata anak perempuan Indonesia. Usianya mungkin baru sekitar 10 tahun. Posturnya yang tinggi-padat dengan kulit kuning bersih sebenarnya kurang pas dengan pekerjaannya sebagai pengemis. Apalagi di bukit terpencil yang terik di siang hari dan menggigilkan di malam hari. Hanya rok hijau lusuhnya yang kumal dan robek-robek, dan rambutnya yang tidak terurus, yang memberi kesan dia sebagai gembel.
Sejujurnya, ketika itu kami juga sedang merindukan anak perempuan, untuk melengkapi dua anak laki-laki kami. Dan, doa inilah yang berulang-ulang kuucapkan di multazamm --tempat berdoa yang paling mustajab-- sehabis wukuf. "Kamu merindukan anak perempuan....Kamu terus berdoa memohon anak perempuan. Tetapi, kenapa kau tolak kehadiran anak perempuan, bahkan kau sakiti hatinya?" Sebuah suara tiba-tiba menyambar batinku.
Ya, perempuan kecil itu memang cukup mewakili sosok anak perempuan yang kurindukan, cantik, sehat, dan cerdas. Namun, tentu bukan pengemis. Jelas aku takkan ikhlas anakku jadi peminta-minta. Anakku harus mandiri dan banyak memberi. Bukan banyak meminta. Tapi, mengapa wajah perempuan kecil itu terus memburuku dan tatapan mata ibanya terus menusuk-nusukkan belati ke ulu hatiku?
Keesokan harinya aku benar-benar kembali mendaki Jabal Noor (Bukit Cahaya) untuk menemukan gadis kecil bermata belati itu. Kuingat betul wajah kekanakannya, mata bulat cokelatnya, alis tebalnya, hidung mancungnya, bibir merekahnya, dan rambutnya yang hitam kemerahan dan dikepang dua. Juga kuingat baju hijau lusuhnya yang robek lengan dan ujung kanannya, kaki telanjangnya yang ramping, dari kelompok pengemis mana ia muncul dan di mana ia kuhempaskan.
Tetapi anehnya, sesampai di lereng yang kuyakini sebagai tempat perempuan kecil bermata belati itu kuhempaskan, tak ada satu pun pengemis yang mencegatku. Beberapa pengemis kecil, kebanyakan perempuan, tetap asyik bermain di dekat bebatuan atau duduk-duduk santai di atas gundukan batu. Kusapukan pandanganku berkali-kali ke seluruh penjuru lereng itu, tapi tidak kutemukan juga perempuan kecil bermata belati itu. Akhirnya, anak-anak gembel itulah yang kupanggil untuk mendekat sambil berharap perempuan kecil yang kucari itu segera muncul dari balik bebatuan atau dari dalam gubuk kayu beratap kain-kain lusuh tidak jauh dari jalan setapak itu.
Beberapa kelompok pengemis kecil sudah mendekat dan segera pergi lagi setelah semua mendapat uang receh dariku, tapi tidak kutemukan juga perempuan kecil bermata belati yang kucari itu. "Ah, mungkin anak itu sudah pindah ke lereng yang agak ke atas," pikirku.
Aku sudah hendak melangkahkan kaki untuk mendaki lagi, namun ujung sajadahku tiba-tiba terasa berat. Aku menengok ke belakang, dan kulihat seorang perempuan kecil menggelayut di ujung sajadah tipis yang kuikatkan di pinggangku. "Ini dia!" teriakku dalam hati. Aku yakin, dialah perempuan kecil bermata belati yang kucari itu. Kurogoh saku baju kokoku, dan kuberi dia beberapa dinar. "Syukron... syukron!" katanya sambil menghitung-hitung uang itu dan meloncat-loncat kecil menjauhiku.
Melihat kegembiraan itu, dadaku terasa plong, seperti baru saja melunasi hutang pada kawan sekantor yang begitu mengganjal perasaan karena ia sering menagihnya. Maka, dengan perasaan lega akupun meneruskan perjalanan ke puncak, sebab masih terlalu siang untuk kembali ke hotel. Setidaknya, aku bisa shalat Ashar di puncak Jabal Noor atau di Gua Hira --tempat Nabi Muhammad SAW dulu menerima wahyu pertama.
Tetapi, baru sekitar 50 meter melangkah, aku melihat gadis kecil yang sangat mirip dengan perempuan kecil bermata belati yang kucari. Penampilannya masih seperti kemarin. Rambutnya masih dikepang dua, dan ketika kudekati, tatapan ibanya yang mengandung belati masih tajam menusuk ulu hatiku. "Ah, jangan-jangan ini yang benar," pikirku. Dan yang bersamanya, aku ingat, adalah pengemis-pengemis kecil yang kemarin juga. Hanya warna bajunya, lagi-lagi, yang berbeda. Kemarin hijau lusuh, kini kuning kecoklatan. Maka, kurogoh lagi saku bajuku lalu kuberi dia lima dinar. Dengan wajah terbengong-bengong gadis kecil itu menerimanya.
Namun, ketika aku hendak melangkah lagi, tiba-tiba ada yang terasa menggelayuti tangan kiriku, dan ternyata seorang perempuan kecil yang wajahnya sangat mirip dengan gadis kecil bermata belati yang baru saja berlalu. Rambutnya pun hitam kemerahan dan dikepang dua. Bajunya juga hijau lusuh seperti baju gadis kecil yang kucari itu. "Ana miskin... Ana miskin...," rengeknya sambil menadahkan tangan kanannya, persis seperti rengek perempuan kecil yang kemarin kuhempaskan ke atas gundukan batu.
Ini yang benar, pikirku. Inilah perempuan kecil yang kucari. Maka, segera kurogoh lagi saku celana jinku, dan kuberikan beberapa dinar kepadanya. Tetapi, bersamaan dengan itu, seperti serentak muncul pengemis-pengemis kecil dari balik bongkahan batu, dari celah bukit, dari dalam gubuk-gubuk beratap kain lusuh, lima, sepuluh, lima belas, tiga puluh .... dan banyak di antara mereka yang wajahnya sangat mirip dengan perempuan kecil bermata belati yang kemarin kuhempaskan itu. Mereka melangkah serentak ke arahku, seperti mumi-mumi hidup, dengan pakaian compang-camping, sambil menadahkan tangan dan koor, "Ana miskin... ana miskin...."
Dengan begitu cepat pengemis-pengemis kecil itu mengepungku, sehingga aku tak dapat menghindar dari mereka. Dengan agresif tangan-tangan kecil mereka pun menadah di sekelilingku, bertempelan di dadaku, di lengan kanan-kiriku, di punggungku. Dan, dengan tatapan-tatapan iba yang menghunjamkan puluhan pisau belati ke ulu hatiku, mereka memaksaku untuk menguras seluruh isi saku bajuku, saku celanaku, dan dompetku. Dengan tangan gemetar dan perasaan tak menentu, kubagikan semua sisa recehan satu dinar, lima dinar, dan bahkan sepuluh dinarku.
Satu demi satu mereka pun pergi meninggalkanku, kembali ke balik bongkahan-bongkahan batu, ke dalam gukuk-gubuk beratap kain lusuh dan ke celah-celah pebukitan tandus Jabal Noor. Dengan tubuh lemas dan perasaan tak menentu, akhirnya aku turun, dan langsung menuju Masjidil Haram. Usai shalat Ashar aku meninggalkan masjid untuk kembali ke hotel. Tapi, di pintu keluar aku masih dicegat seorang perempuan kecil bermata belati itu. Dan, ini yang paling persis di antara gadis-gadis kecil bermata belati yang kutemukan di Jabal Noor tadi. Rambutnya masih dikepang dua, dan roknya juga masih hijau lusuh dengan robekan kecil pada lengan kiri dan ujung bawah kanannya.
Maka, tanpa pikir panjang kurogoh dompetku dan kucari sisa uang receh yang ada. Tapi, tak ada lagi uang receh di sana. Yang kutemukan tinggal selembar 50 dinar. Dan, tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku, uang itu kuberikan begitu saja padanya. Sampai di kamar hotel aku baru sadar, yang kuberikan pada perempuan kecil bermata belati itu ternyata satu-satunya sisa uang sakuku. ***
Mulanya hanyalah seorang pengemis kecil yang kudorong dengan kasar sehingga jatuh terduduk ke gundukan batu-batu. Muncul dari sekelompok pengemis yang menunggu para pendaki di tepi jalan setapak menuju Gua Hira, gadis kecil itu mencegatku di deretan paling depan dan langsung menggelayuti sajadahku dengan cengkeraman yang begitu kuat. "Ana miskin...ana miskin...," rengeknya dengan tatapan mata iba sambil menadahkan tangan kanannya ke dadaku.
Ketika itu aku benar-benar kehabisan uang kecil, karena terlalu banyaknya pengemis di sepanjang jalan setapak itu --konon mereka datang dari daerah-daerah miskin di Asia Tengah. Kalaupun masih ada uang receh di dompetku, paling kecil 10 dinar dan ini pecahan yang tidak lazim dibagikan kepada pengemis. Tetapi, ternyata tidak gampang untuk menolak pengemis-pengemis yang rata-rata masih di bawah umur itu. Mereka akan menggelayuti tangan, ujung baju, sarung, sajadah, atau apa saja, untuk memaksa pendaki memberi mereka uang receh.
Begitulah dengan gadis kecil yang menggelayuti ujung sajadahku, sehingga aku sulit untuk meneruskan perjalanan. Barkali-kali aku mencoba menolaknya dengan halus, dengan bahasa Inggris campur Arab, "No money... no more... no more.... La... la... Ana laisa fulus... laisa fulus...Halas...halas!" kataku sambil menggerakkan tangan dengan isyarat menolak, dengan harapan ia mengerti maksudku dan segera melepaskan ujung sajadahku.
Tapi, gadis kecil itu masih menggelayut begitu kuat di ujung sajadahku, sampai terjadi tarik-menarik sajadah antara aku dengan si kecil yang punya "daya juang" tinggi itu. Maka, dengan agak marah, kutarik sekeras-kerasnya sajadahku, lepas dari cengkeramannya. Dan, ketika gadis kecil itu tetap memburuku untuk meraih ujung baju kokoku, kuhempaskan dia dengan kasar, sehingga terhuyung-huyung jatuh terduduk ke atas gundukan batu-batu. "Ana miskin... ana miskin...," rengeknya dengan tatapan mata cokelat yang makin mengiba ke arahku.
Dan, tatapan itulah yang terus memburuku, terus menusuk-nusuk ulu hatiku, sampai aku kembali ke hotel. Saat makan malam, tiap menjelang shalat, dan terutama menjelang tidur, mata cokelat perempuan kecil itu seperti hadir kembali dengan seluruh dirinya. Wajahnya yang oval dengan hidung mancung, alisnya yang tebal dengan mata cokelat bulat lebar --wajah khas Afghanistan-- dengan rambut panjang hitam kemerahan dikepang dua, seakan hadir seluruhnya dengan begitu nyata. Dan, suaranya seperti terngiang-ngiang kembali di telingaku, "Ana miskin... ana miskin..
Perempuan kecil itu sebenarnya sangat cantik. Setidaknya, di atas rata-rata anak perempuan Indonesia. Usianya mungkin baru sekitar 10 tahun. Posturnya yang tinggi-padat dengan kulit kuning bersih sebenarnya kurang pas dengan pekerjaannya sebagai pengemis. Apalagi di bukit terpencil yang terik di siang hari dan menggigilkan di malam hari. Hanya rok hijau lusuhnya yang kumal dan robek-robek, dan rambutnya yang tidak terurus, yang memberi kesan dia sebagai gembel.
Sejujurnya, ketika itu kami juga sedang merindukan anak perempuan, untuk melengkapi dua anak laki-laki kami. Dan, doa inilah yang berulang-ulang kuucapkan di multazamm --tempat berdoa yang paling mustajab-- sehabis wukuf. "Kamu merindukan anak perempuan....Kamu terus berdoa memohon anak perempuan. Tetapi, kenapa kau tolak kehadiran anak perempuan, bahkan kau sakiti hatinya?" Sebuah suara tiba-tiba menyambar batinku.
Ya, perempuan kecil itu memang cukup mewakili sosok anak perempuan yang kurindukan, cantik, sehat, dan cerdas. Namun, tentu bukan pengemis. Jelas aku takkan ikhlas anakku jadi peminta-minta. Anakku harus mandiri dan banyak memberi. Bukan banyak meminta. Tapi, mengapa wajah perempuan kecil itu terus memburuku dan tatapan mata ibanya terus menusuk-nusukkan belati ke ulu hatiku?
Keesokan harinya aku benar-benar kembali mendaki Jabal Noor (Bukit Cahaya) untuk menemukan gadis kecil bermata belati itu. Kuingat betul wajah kekanakannya, mata bulat cokelatnya, alis tebalnya, hidung mancungnya, bibir merekahnya, dan rambutnya yang hitam kemerahan dan dikepang dua. Juga kuingat baju hijau lusuhnya yang robek lengan dan ujung kanannya, kaki telanjangnya yang ramping, dari kelompok pengemis mana ia muncul dan di mana ia kuhempaskan.
Tetapi anehnya, sesampai di lereng yang kuyakini sebagai tempat perempuan kecil bermata belati itu kuhempaskan, tak ada satu pun pengemis yang mencegatku. Beberapa pengemis kecil, kebanyakan perempuan, tetap asyik bermain di dekat bebatuan atau duduk-duduk santai di atas gundukan batu. Kusapukan pandanganku berkali-kali ke seluruh penjuru lereng itu, tapi tidak kutemukan juga perempuan kecil bermata belati itu. Akhirnya, anak-anak gembel itulah yang kupanggil untuk mendekat sambil berharap perempuan kecil yang kucari itu segera muncul dari balik bebatuan atau dari dalam gubuk kayu beratap kain-kain lusuh tidak jauh dari jalan setapak itu.
Beberapa kelompok pengemis kecil sudah mendekat dan segera pergi lagi setelah semua mendapat uang receh dariku, tapi tidak kutemukan juga perempuan kecil bermata belati yang kucari itu. "Ah, mungkin anak itu sudah pindah ke lereng yang agak ke atas," pikirku.
Aku sudah hendak melangkahkan kaki untuk mendaki lagi, namun ujung sajadahku tiba-tiba terasa berat. Aku menengok ke belakang, dan kulihat seorang perempuan kecil menggelayut di ujung sajadah tipis yang kuikatkan di pinggangku. "Ini dia!" teriakku dalam hati. Aku yakin, dialah perempuan kecil bermata belati yang kucari itu. Kurogoh saku baju kokoku, dan kuberi dia beberapa dinar. "Syukron... syukron!" katanya sambil menghitung-hitung uang itu dan meloncat-loncat kecil menjauhiku.
Melihat kegembiraan itu, dadaku terasa plong, seperti baru saja melunasi hutang pada kawan sekantor yang begitu mengganjal perasaan karena ia sering menagihnya. Maka, dengan perasaan lega akupun meneruskan perjalanan ke puncak, sebab masih terlalu siang untuk kembali ke hotel. Setidaknya, aku bisa shalat Ashar di puncak Jabal Noor atau di Gua Hira --tempat Nabi Muhammad SAW dulu menerima wahyu pertama.
Tetapi, baru sekitar 50 meter melangkah, aku melihat gadis kecil yang sangat mirip dengan perempuan kecil bermata belati yang kucari. Penampilannya masih seperti kemarin. Rambutnya masih dikepang dua, dan ketika kudekati, tatapan ibanya yang mengandung belati masih tajam menusuk ulu hatiku. "Ah, jangan-jangan ini yang benar," pikirku. Dan yang bersamanya, aku ingat, adalah pengemis-pengemis kecil yang kemarin juga. Hanya warna bajunya, lagi-lagi, yang berbeda. Kemarin hijau lusuh, kini kuning kecoklatan. Maka, kurogoh lagi saku bajuku lalu kuberi dia lima dinar. Dengan wajah terbengong-bengong gadis kecil itu menerimanya.
Namun, ketika aku hendak melangkah lagi, tiba-tiba ada yang terasa menggelayuti tangan kiriku, dan ternyata seorang perempuan kecil yang wajahnya sangat mirip dengan gadis kecil bermata belati yang baru saja berlalu. Rambutnya pun hitam kemerahan dan dikepang dua. Bajunya juga hijau lusuh seperti baju gadis kecil yang kucari itu. "Ana miskin... Ana miskin...," rengeknya sambil menadahkan tangan kanannya, persis seperti rengek perempuan kecil yang kemarin kuhempaskan ke atas gundukan batu.
Ini yang benar, pikirku. Inilah perempuan kecil yang kucari. Maka, segera kurogoh lagi saku celana jinku, dan kuberikan beberapa dinar kepadanya. Tetapi, bersamaan dengan itu, seperti serentak muncul pengemis-pengemis kecil dari balik bongkahan batu, dari celah bukit, dari dalam gubuk-gubuk beratap kain lusuh, lima, sepuluh, lima belas, tiga puluh .... dan banyak di antara mereka yang wajahnya sangat mirip dengan perempuan kecil bermata belati yang kemarin kuhempaskan itu. Mereka melangkah serentak ke arahku, seperti mumi-mumi hidup, dengan pakaian compang-camping, sambil menadahkan tangan dan koor, "Ana miskin... ana miskin...."
Dengan begitu cepat pengemis-pengemis kecil itu mengepungku, sehingga aku tak dapat menghindar dari mereka. Dengan agresif tangan-tangan kecil mereka pun menadah di sekelilingku, bertempelan di dadaku, di lengan kanan-kiriku, di punggungku. Dan, dengan tatapan-tatapan iba yang menghunjamkan puluhan pisau belati ke ulu hatiku, mereka memaksaku untuk menguras seluruh isi saku bajuku, saku celanaku, dan dompetku. Dengan tangan gemetar dan perasaan tak menentu, kubagikan semua sisa recehan satu dinar, lima dinar, dan bahkan sepuluh dinarku.
Satu demi satu mereka pun pergi meninggalkanku, kembali ke balik bongkahan-bongkahan batu, ke dalam gukuk-gubuk beratap kain lusuh dan ke celah-celah pebukitan tandus Jabal Noor. Dengan tubuh lemas dan perasaan tak menentu, akhirnya aku turun, dan langsung menuju Masjidil Haram. Usai shalat Ashar aku meninggalkan masjid untuk kembali ke hotel. Tapi, di pintu keluar aku masih dicegat seorang perempuan kecil bermata belati itu. Dan, ini yang paling persis di antara gadis-gadis kecil bermata belati yang kutemukan di Jabal Noor tadi. Rambutnya masih dikepang dua, dan roknya juga masih hijau lusuh dengan robekan kecil pada lengan kiri dan ujung bawah kanannya.
Maka, tanpa pikir panjang kurogoh dompetku dan kucari sisa uang receh yang ada. Tapi, tak ada lagi uang receh di sana. Yang kutemukan tinggal selembar 50 dinar. Dan, tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku, uang itu kuberikan begitu saja padanya. Sampai di kamar hotel aku baru sadar, yang kuberikan pada perempuan kecil bermata belati itu ternyata satu-satunya sisa uang sakuku. ***
Burung Terbang dari Kuburmu
Cerpen Hamdy Salad
BURUNG-BURUNG terbang meninggalkan musim dingin menuju tempat yang lain. Melintasi laut dan hutan. Menggaris cakrawala di langit keabadian. Sebagian pergi menaikkan derajatnya menuju tingkat yang lebih tinggi. Sebagian dilepas dan diberi angka pada sayapnya, agar mudah dikenali kemana pun mereka pergi. Sebagian lagi hanya bisa menghabiskan waktu untuk bernyanyi dalam sangkar tirani.
Seperti juga tetangganya, orang itu tak pernah bosan untuk bersiul. Mengajari burung bernyanyi dengan irama yang tidak pasti. Setiap sore dan pagi hari, ia berdiri di depan rumah. Memberi makan dan minum melebihi anaknya sendiri. Ketan hitam, buah pisang dan gabah, juga air yang telah direbus dengan daun jambu, selalu ada di kepalanya. Tapi burung tak juga pandai bernyanyi, kecuali beriak dengan suara serak. Memaki-maki pita suara dalam tenggorokan lalu amarah merasuk di dada pemiliknya. Mengajak anggota badan untuk bertindak. Menggerakkan kedua lengannya yang kokoh untuk membanting sangkar sampai roboh ke tanah. Dan burung pun terbang, tergopoh-gopoh, mencari kebebasan yang telah lama dirindukan.
Pada saat yang kurang tepat, tetangga itu datang ke rumahnya. Mengumbar basa-basi dalam dunia burung. Di dekat mereka mengobrol, seekor beo masih bertengger dengan rantai di kaki kanan. Matanya melotot, menatap tetangganya tanpa ragu. Sepertinya beo itu hendak bicara, mengabarkan luka yang diderita oleh majikannya.
"Aku tetanggamu. Tak mungkin bisa menutup telinga."
"Ya. Pada minggu terakhir sebelum kepergiannya, burung itu telah membuat sarang dalam sangkar. Dan ketika sangkar telah rusak, sarang itu berpindah tempat ke dalam tubuh majikannya. Hingga tubuh sang majikan terasa sesak. Penuh jerami yang berserak."
"Lalu, pergi ke mana?"
"Mencari musim di tempat yang lain. Sebab burung yang tinggal dalam sarang tertentu, dengan mudah akan ditangkap orang, setiap musim setiap waktu."
Tetangga itu bangkit. Lalu pamit dan kembali ke dalam rumah sendiri. Sunyi tanpa kata-kata. Memahami bahasa burung dengan lidah manusia. Menerbangkan khayalan menuju kenyataan. Membawa mimpi ke dalam kehidupan. Burung pelatuk mencari makanan; mematuki pohon yang keras sebanyak 20 kali dalam 2 detik tanpa cedera; pendarahan otak atau sakit kepala. Burung ababil membawa kerikil dan batu api tanpa terbakar tubuhnya; juga sayap dan bulu-bulunya.
Burung-burung selalu dipuja karena suara indah yang keluar dari tenggorokannya. Perkutut jantan yang terkenal itu, mendapat sertifikat yang lebih mahal dari kemerdekaan. Kutilang berjengger biru ditukar orang dengan mobil terbaru. Cucakrawa berbulu putih dikeramatkan sebagai bangsa burung yang terpilih. Sementara elang, makhluk pemakan daging itu, tetap setia menggaris laut. Menunggu mangsa yang luput.
Elang bermata merah mengepakkan sayapnya menuju tempat fajar merekah. Kemudaian berdandan, menjelma makhluk paling serakah; meminum nanah; memakan daging-daging busuk sampai muntah. Sedang elang bermata hitam, terbang ke arah matahari tenggelam. Lalu bernyanyi, mabuk dan gila sampai mati. Sayap-sayapnya yang patah jatuh ke bumi. Menjadi pena. Menuliskan sejarah sendiri tanpa tinta.
"Bukankah bumi juga memiliki mata pena?"
"Ya. Tapi langit yang menyimpan tintanya."
"Jadi?"
"Jadi bumi tak bisa menulis sejarah sendiri. Kecuali langit mengirimkan tinta yang lebih murni."
"Ah!!"
"Lelaki juga punya burung. Tapi perempuan yang menyimpan sayapnya. Jadi lelaki tak bisa terbang sendirian, kecuali perempuan mengepakkan sayapnya."
Dan ini juga burung. Walau hari sudah sore dan petang, walau angin ribut selalu datang, sekelompok merpati itu tak mau pergi dari tempat kebebasannya. Mereka habiskan waktu untuk bersendau-gurau sembari mengais sisa-sisa makanan orang. Hingga sayap-sayapnya menjadi malas terbang dan kembali ke dalam sarang. Makhluk-makhluk bertelinga kecil itu lebih suka tertidur dan menunggu pagi di taman-taman kota. Para pemburu yang kebetulan lewat dan melihatnya, tanpa perintah atau komando, langsung menembaki mereka tanpa aturan. Merpati-merpati kelimpungan. Lalu roboh ke tanah. Tak bisa lagi terbang, berkicau atau berdendang, kecuali menangis dan merintih dalam perut si-gendut. Perut pemakan daging yang sedang ribut di balik dinding.
Kalau saja Daud dan Sulaiman masih hidup, tangisan itu dapat digubah sebagai nyanyian dalam telingamu. Dan engkau pun menjadi bebas merdeka untuk terbang menemui diri di atas langit yang tinggi. Sebab burung telah menjadi amsal ruhani untuk membawa pesan-pesan rahasia ke dalam bahasa manusia.
"Maka, pujilah nama Tuhanmu yang telah menerbangkan burung-burung semesta dari sangkar derita. Dan burung-burung pun menjadi bahagia dalam istana yang sesungguhnya."
Seperti juga tetangganya, orang itu tak pernah peduli pada kenyataan di luar angkasa. Pada burung-burung cahaya yang menerbangkan manusia sempurna menuju surga. Serupa sayap-sayap jibril, mereka berkepak membawa bahtera, mengangkat ruh para nabi menuju singgasana yang abadi. Sementara wali dan orang-orang terpilih yang teraniaya atau disiksa para penguasa, memperoleh sayap dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat dari burung-burung putih untuk terbang dan kembali ke dalam istana sejati.
Simurgh, burung merak dengan sayap-sayapnya yang indah, telah dinobatkan sebagai mahkota yang mesti dicinta. Sedang bul-bul menggantikan sayap-sayap manusia sebagai anugerah para pecinta. Lalu hud-hud, burung yang paling beruntung di dunia, menurunkan rahasia Tuhan kepada Sulaiman. Hingga Balqis, perempuan ratu yang terkenal itu, menjadi tunduk dan berserah diri di hadapan raja Yang Maha Suci. Lalu duduk dan berdiri; membaca syahadat sampai kembali ke dasar bumi.
"Telah kuingat semua nama yang indah. Dan kulepaskan semua burung yang mati dari sangkar resah." Seekor gagak menggali tanah; mengajarkan cara pada anak adam dan hawa untuk mengubur dan menutup aib saudara.
"Oh. Celakalah aku. Mengapa aku tidak bisa berpikir seperti burung gagak itu, sehingga saudaraku Habil dapat dikubur di bumi ini." Qabil menyesal. Lalu bergerak dan mengantar kepergian saudaranya dengan cara burung gagak. Menutup jasadnya dengan tanah, melepaskan jiwanya dengan penuh rahmah.
Tangan doa menengadah ke angkasa. Mendedah sebutir pasir di tengah mutiara. Seperti juga tetangganya, orang itu bersusah-payah untuk menjadi diri sendiri. Setiap hari, dari pagi sampai petang, dari petang sampai pagi lagi, tak pernah lupa untuk mengaji. Memahami bahasa burung dengan kalimat-kalimat suci yang lebih abadi. Kecuali tertidur dan mati.
Tapi hidup telah membawa jiwanya untuk menolak rasa kantuk, tertidur atau mati dengan sia-sia. Selain rindu yang luar biasa untuk bertemu dan terbang bersama burung-burung bersayap sutra. Burung-burung kesaksian yang mengangkat ruh alam menuju langit keabadian. Sampai selaput yang tipis di cekung matanya menjadi terkikis. Dan cahaya berkilau, memancarkan sinar dunia ke wajah bumi yang hijau. ***
BURUNG-BURUNG terbang meninggalkan musim dingin menuju tempat yang lain. Melintasi laut dan hutan. Menggaris cakrawala di langit keabadian. Sebagian pergi menaikkan derajatnya menuju tingkat yang lebih tinggi. Sebagian dilepas dan diberi angka pada sayapnya, agar mudah dikenali kemana pun mereka pergi. Sebagian lagi hanya bisa menghabiskan waktu untuk bernyanyi dalam sangkar tirani.
Seperti juga tetangganya, orang itu tak pernah bosan untuk bersiul. Mengajari burung bernyanyi dengan irama yang tidak pasti. Setiap sore dan pagi hari, ia berdiri di depan rumah. Memberi makan dan minum melebihi anaknya sendiri. Ketan hitam, buah pisang dan gabah, juga air yang telah direbus dengan daun jambu, selalu ada di kepalanya. Tapi burung tak juga pandai bernyanyi, kecuali beriak dengan suara serak. Memaki-maki pita suara dalam tenggorokan lalu amarah merasuk di dada pemiliknya. Mengajak anggota badan untuk bertindak. Menggerakkan kedua lengannya yang kokoh untuk membanting sangkar sampai roboh ke tanah. Dan burung pun terbang, tergopoh-gopoh, mencari kebebasan yang telah lama dirindukan.
Pada saat yang kurang tepat, tetangga itu datang ke rumahnya. Mengumbar basa-basi dalam dunia burung. Di dekat mereka mengobrol, seekor beo masih bertengger dengan rantai di kaki kanan. Matanya melotot, menatap tetangganya tanpa ragu. Sepertinya beo itu hendak bicara, mengabarkan luka yang diderita oleh majikannya.
"Aku tetanggamu. Tak mungkin bisa menutup telinga."
"Ya. Pada minggu terakhir sebelum kepergiannya, burung itu telah membuat sarang dalam sangkar. Dan ketika sangkar telah rusak, sarang itu berpindah tempat ke dalam tubuh majikannya. Hingga tubuh sang majikan terasa sesak. Penuh jerami yang berserak."
"Lalu, pergi ke mana?"
"Mencari musim di tempat yang lain. Sebab burung yang tinggal dalam sarang tertentu, dengan mudah akan ditangkap orang, setiap musim setiap waktu."
Tetangga itu bangkit. Lalu pamit dan kembali ke dalam rumah sendiri. Sunyi tanpa kata-kata. Memahami bahasa burung dengan lidah manusia. Menerbangkan khayalan menuju kenyataan. Membawa mimpi ke dalam kehidupan. Burung pelatuk mencari makanan; mematuki pohon yang keras sebanyak 20 kali dalam 2 detik tanpa cedera; pendarahan otak atau sakit kepala. Burung ababil membawa kerikil dan batu api tanpa terbakar tubuhnya; juga sayap dan bulu-bulunya.
Burung-burung selalu dipuja karena suara indah yang keluar dari tenggorokannya. Perkutut jantan yang terkenal itu, mendapat sertifikat yang lebih mahal dari kemerdekaan. Kutilang berjengger biru ditukar orang dengan mobil terbaru. Cucakrawa berbulu putih dikeramatkan sebagai bangsa burung yang terpilih. Sementara elang, makhluk pemakan daging itu, tetap setia menggaris laut. Menunggu mangsa yang luput.
Elang bermata merah mengepakkan sayapnya menuju tempat fajar merekah. Kemudaian berdandan, menjelma makhluk paling serakah; meminum nanah; memakan daging-daging busuk sampai muntah. Sedang elang bermata hitam, terbang ke arah matahari tenggelam. Lalu bernyanyi, mabuk dan gila sampai mati. Sayap-sayapnya yang patah jatuh ke bumi. Menjadi pena. Menuliskan sejarah sendiri tanpa tinta.
"Bukankah bumi juga memiliki mata pena?"
"Ya. Tapi langit yang menyimpan tintanya."
"Jadi?"
"Jadi bumi tak bisa menulis sejarah sendiri. Kecuali langit mengirimkan tinta yang lebih murni."
"Ah!!"
"Lelaki juga punya burung. Tapi perempuan yang menyimpan sayapnya. Jadi lelaki tak bisa terbang sendirian, kecuali perempuan mengepakkan sayapnya."
Dan ini juga burung. Walau hari sudah sore dan petang, walau angin ribut selalu datang, sekelompok merpati itu tak mau pergi dari tempat kebebasannya. Mereka habiskan waktu untuk bersendau-gurau sembari mengais sisa-sisa makanan orang. Hingga sayap-sayapnya menjadi malas terbang dan kembali ke dalam sarang. Makhluk-makhluk bertelinga kecil itu lebih suka tertidur dan menunggu pagi di taman-taman kota. Para pemburu yang kebetulan lewat dan melihatnya, tanpa perintah atau komando, langsung menembaki mereka tanpa aturan. Merpati-merpati kelimpungan. Lalu roboh ke tanah. Tak bisa lagi terbang, berkicau atau berdendang, kecuali menangis dan merintih dalam perut si-gendut. Perut pemakan daging yang sedang ribut di balik dinding.
Kalau saja Daud dan Sulaiman masih hidup, tangisan itu dapat digubah sebagai nyanyian dalam telingamu. Dan engkau pun menjadi bebas merdeka untuk terbang menemui diri di atas langit yang tinggi. Sebab burung telah menjadi amsal ruhani untuk membawa pesan-pesan rahasia ke dalam bahasa manusia.
"Maka, pujilah nama Tuhanmu yang telah menerbangkan burung-burung semesta dari sangkar derita. Dan burung-burung pun menjadi bahagia dalam istana yang sesungguhnya."
Seperti juga tetangganya, orang itu tak pernah peduli pada kenyataan di luar angkasa. Pada burung-burung cahaya yang menerbangkan manusia sempurna menuju surga. Serupa sayap-sayap jibril, mereka berkepak membawa bahtera, mengangkat ruh para nabi menuju singgasana yang abadi. Sementara wali dan orang-orang terpilih yang teraniaya atau disiksa para penguasa, memperoleh sayap dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat dari burung-burung putih untuk terbang dan kembali ke dalam istana sejati.
Simurgh, burung merak dengan sayap-sayapnya yang indah, telah dinobatkan sebagai mahkota yang mesti dicinta. Sedang bul-bul menggantikan sayap-sayap manusia sebagai anugerah para pecinta. Lalu hud-hud, burung yang paling beruntung di dunia, menurunkan rahasia Tuhan kepada Sulaiman. Hingga Balqis, perempuan ratu yang terkenal itu, menjadi tunduk dan berserah diri di hadapan raja Yang Maha Suci. Lalu duduk dan berdiri; membaca syahadat sampai kembali ke dasar bumi.
"Telah kuingat semua nama yang indah. Dan kulepaskan semua burung yang mati dari sangkar resah." Seekor gagak menggali tanah; mengajarkan cara pada anak adam dan hawa untuk mengubur dan menutup aib saudara.
"Oh. Celakalah aku. Mengapa aku tidak bisa berpikir seperti burung gagak itu, sehingga saudaraku Habil dapat dikubur di bumi ini." Qabil menyesal. Lalu bergerak dan mengantar kepergian saudaranya dengan cara burung gagak. Menutup jasadnya dengan tanah, melepaskan jiwanya dengan penuh rahmah.
Tangan doa menengadah ke angkasa. Mendedah sebutir pasir di tengah mutiara. Seperti juga tetangganya, orang itu bersusah-payah untuk menjadi diri sendiri. Setiap hari, dari pagi sampai petang, dari petang sampai pagi lagi, tak pernah lupa untuk mengaji. Memahami bahasa burung dengan kalimat-kalimat suci yang lebih abadi. Kecuali tertidur dan mati.
Tapi hidup telah membawa jiwanya untuk menolak rasa kantuk, tertidur atau mati dengan sia-sia. Selain rindu yang luar biasa untuk bertemu dan terbang bersama burung-burung bersayap sutra. Burung-burung kesaksian yang mengangkat ruh alam menuju langit keabadian. Sampai selaput yang tipis di cekung matanya menjadi terkikis. Dan cahaya berkilau, memancarkan sinar dunia ke wajah bumi yang hijau. ***
Ia Baru Saja Membunuh Suaminya
Cerpen Alex R. Nainggolan
Ia baru saja selesai mengerjakan sesuatu yang mungkin membuatnya merasa bahagia. Nyatanya, ia tersungging, penuh dengan raut kepuasan di wajahnya. Ia membersihkan pisau yang telah berlumur merah itu, ia membilasnya dengan air sampai bersih. Dan, kilatan matanya itu seperti sebuah lampion yang menunggu, berdenyar dan penuh cahaya. Ya, ia telah melakukan pekerjaan yang menurutnya paling berat: membunuh suaminya sendiri!
Ia baru saja bangun pagi-pagi sekali. Menyiapkan kopi buat suami. Tetapi ia merasa suaminya akhir-akhir ini sering memarahinya, entah itu mengumpat, untuk sesuatu yang biasanya menjadi rutinitas namun ia terlupa. Dan menampar, bahkan untuk urusan yang sepele sekalipun. Ia menangis, tersendat, begitu tertahan. Isak yang tak bergerak, seperti jarum waktu yang berputar mengerat, begitu diam. Terasa perlahan. Sehirupan napas. Ia ingat, mengapa beberapa bulan belakangan ini suaminya sering marah-marah padanya, bahkan untuk urusan yang sepele. Mungkin karena sibuk mencari duit. Kata orang, duit terkadang jadi masalah dalam keluarga. Namun apakah semuanya bermakna karena materi semata saja?
Ia bangun pagi-pagi sekali. Matanya seperti sorot embun. Namun ketika ia menyodorkan gelas kopi, suaminya mendampratnya. Padahal ia masih ingat bagaimana tangan yang kekar itu mendekapnya perlahan. Ya, ia masih mengingatnya. Dulu, ah, mengapa orang selalu senang mengenang kesilaman. Seperti sketsa bayangan rabun yang terkunci, pintu yang menyodorkan sejumlah kenangan, di mana warna-warni indah saja yang terlihat. Tetapi perubahaan adalah keniscayaan, sebentuk kesederhanaan yang akan datang di tubuh manusia. Dan ia pun paham, suaminya tengah berubah, bukan yang dulu lagi. Ketika menggandeng tangannya di pusat keramaian kota, ketika mencium bibirnya dengan lembut di dalam bioskop yang gelap…
Ah, mengapa ia mesti bangun pagi-pagi sekali? Toh, dunia juga tak akan beda baginya, terkurung di dalam rumah, disibukkan dengan pekerjaan yang biasa-biasa saja. Memasak. Mencuci piring dan baju. Nonton televisi. Sesekali, sebenarnya ia ingin suaminya mengajak jalan-jalan ke suatu tempat di dalam kota. Namun semuanya telah berubah bukan? Ya, ia pun paham --jika dirinya mesti bangun pagi-pagi sekali, dengan begitu ia bisa menyiapkan segalanya. Dengan begitu ia bisa menyediakan kopi untuk suaminya. Dengan begitu ia merasa telah melunaskan tugasnya sebagai seorang istri yang baik. Istri yang digambarkan dalam agamanya, bagaimana mesti bersikap kepada suami. Tetapi, ketika menyodorkan segelas kopi yang masih ngepul dengan asap tipis: lho,kok¸ malah digampar.
Ia menangis. Sejadi-jadinya. Pertahanannya yang tadi jebol juga. Ia tak mampu menampung. Ia sedih. Ia menyudut. Suaminya nanar, menjambaknya, menarik rambutnya. Ia merasa terbanting, ia ingat bagaimana ia biasa dipeluk oleh tangan hangat itu. Namun nampaknya segalanya sudah berlalu. Suaminya marah.
"Aku dengar kau sering kelayapan keluar rumah, ketika aku sedang bekerja. Dengan siapa?"
Ia hanya diam saja. Membisu. Tak sempat mengucapkan sesuatu.
"Ayo, jawab!!" Hentakan dari suaminya berlanjut, "Dengan siapa? O, jadi begini figur istri yang baik, kelayapan. Aku mendapatkan info dari orang yang dekat dengan kita, katanya malah kau sampai peluk-pelukan segala, di depan keramaian lagi!"
Ia mencoba mengingat. Tetapi segalanya abu-abu. Seperti ia merasa lelah ketika ingin membuka album foto masa lalu mereka berdua. Berapa lama mereka saling mengenal satu sama lainnya? Apakah benar ada kecurigaan mendasar dalam diri suaminya?
Demikianlah. Kecurigaan suaminya akhir-akhir ini seringkali meningkat. Ia tak tahu kenapa. Apakah sebuah keluarga dibangun dari rasa tidak percaya? Kecurigaan yang menjelma jadi lempung. Sesungguhnya, dulu, sebelum memutuskan menikah dengan lelaki itu, ia mengkhayalkan sebuah keluarga yang baik. Di mana ia akan menerima belaian kasih sayang sepanjang hari dari suaminya. Namun kenyataannya, yang terjadi tidaklah mudah. Ternyata membentuk keluarga merupakan suatu hal yang sangat sulit.
Apakah cinta memunyai dendam? Barangkali ya. Tetapi selalu ada sisi lain yang menampak, yang justru membuat keruh suasana. Dan ia berusaha untuk tetap mencintai suaminya, sebagaimana ia tercipta. Perempuan yang selalu diajar oleh kedua orang tuanya untuk tunduk dan setia di hadapan suami.
Tetapi, kenyataan kembali memaksa. Semacam ketika rasa was-was yang hadir terus saja melibasnya, setiap kali ia pingin bertemu dengan suaminya. Setiap kali dirinya masuk ke dalam rumah. Was-was yang menggelembung besar, yang membuat ia membenci suaminya. Meski di sudut hati kecil yang lain, ia masih mencintai suaminya. Ah, cinta, apakah harus tetap seperti ini? Ia merasa selalu ada yang berbaur antara benci dan suka. Ketika ia menghadapi --rutinitasnya sebagai istri belakangan ini-- yang setiap kali memandang wajah suaminya selalu ada kelebat bosan.
Di mukanya kini ada lebam biru, yang membuatnya malas berkaca. Wajahnya tidak lagi terlihat cantik, ia merasa ada yang menguntitnya. Seseorang, mungkin yang memantaunya dari kejauhan. Di muka cermin, ia saksikan wajahnya yang sendu, tak berdaya, dan takluk. Ia merasakan wajahnya nampak lebih tua akhir-akhir ini. Ah, apakah suaminya yang menyebabkan seperti itu?
Kelebat itu datang lagi, mengoyak dirinya. Padahal ia ingin mengembara ke masa lalunya yang bahagia itu. Ketika pertama kali suaminya menyatakan jatuh hati padanya. Kelebatan yang selalu bahagia. Ia merasa melayang diperlakukan istimewa. Dan kini, setelah mendampingi hidup suaminya selama beberapa tahun, ia merasa ada hal lain yang dipenuhi kejanggalan. Sesuatu yang justru turut memperkeruh semua rutinitasnya.
Ia ingin berdoa supaya ada seorang pangeran menjemputnya. Atau seorang ksatria berkuda membawanya pergi dari rumah ini. Sebab rumah nyatanya tak pernah lagi membuatnya betah. Ia selalu merasa terdesak, ingin pergi keluar jauh. Mungkin ke arah laut, di mana ia bisa duduk berdua-duaan dengan lelaki penyelamatnya. Menikmati matahari, menikmati pasir, mengarsir angin yang kesiur membawa ombak, yang mendamparkan segala buih. Ia ingin duduk berdua-dua, berwaktu-waktu.
Memang sekali dua kali masih ada lelaki yang dikenalnya, mengajaknya pergi. Semenjak suaminya sering memukulinya, praktis ia keluar jauh dari rumah. Ia memang menemui lelaki selain suaminya. "Barangkali aku telah berkhianat," keluhnya pada Dhesi, sahabat curhatnya. Sambil duduk memandang jauh, ia bertanya lirih, "Apakah cinta mesti diisi dengan para pecundang? Dikhianati dengan kadar kesetiaan yang begitu larat?"
Pagi itu, setelah ia menyeduhkan kopi dan menyiapkan sarapan pagi. Seusai ia merasakan tangan kekar yang menampar wajahnya, padahal dulu tangan itu begitu lembut membelai dirinya. Padahal dulu tangan itu selalu hati-hati dalam memegang setiap bagian tubuhnya.
Ia merasa ada tenaga lain yang merasukinya. Masuk ke dapur, mengambil sebuah pisau. Ya, ia baru saja selesai mengerjakan sesuatu yang mungkin membuatnya merasa bahagia. Sesuatu hal yang barangkali tak pernah diimpikan namun menjelma jadi sebuah kenyataan yang berdenyar. Nyatanya, ia tersungging, penuh dengan raut kepuasan di wajahnya. Bibirnya seakan dipenuhi dengan ekspresi kemenangan. Ia membersihkan pisau yang telah berlumur merah darah itu, ia membilasnya dengan air sampai bersih. Dan, kilatan matanya itu seperti sebuah lampion yang menunggu, berdenyar dan penuh cahaya. Ya, ia telah melakukan pekerjaan yang menurutnya paling berat: membunuh suaminya sendiri!
Di sudut yang lain, sesosok tubuh tergeletak, bersimbah darah. Sementara, pagi telah begitu terang. ***
Ia baru saja selesai mengerjakan sesuatu yang mungkin membuatnya merasa bahagia. Nyatanya, ia tersungging, penuh dengan raut kepuasan di wajahnya. Ia membersihkan pisau yang telah berlumur merah itu, ia membilasnya dengan air sampai bersih. Dan, kilatan matanya itu seperti sebuah lampion yang menunggu, berdenyar dan penuh cahaya. Ya, ia telah melakukan pekerjaan yang menurutnya paling berat: membunuh suaminya sendiri!
Ia baru saja bangun pagi-pagi sekali. Menyiapkan kopi buat suami. Tetapi ia merasa suaminya akhir-akhir ini sering memarahinya, entah itu mengumpat, untuk sesuatu yang biasanya menjadi rutinitas namun ia terlupa. Dan menampar, bahkan untuk urusan yang sepele sekalipun. Ia menangis, tersendat, begitu tertahan. Isak yang tak bergerak, seperti jarum waktu yang berputar mengerat, begitu diam. Terasa perlahan. Sehirupan napas. Ia ingat, mengapa beberapa bulan belakangan ini suaminya sering marah-marah padanya, bahkan untuk urusan yang sepele. Mungkin karena sibuk mencari duit. Kata orang, duit terkadang jadi masalah dalam keluarga. Namun apakah semuanya bermakna karena materi semata saja?
Ia bangun pagi-pagi sekali. Matanya seperti sorot embun. Namun ketika ia menyodorkan gelas kopi, suaminya mendampratnya. Padahal ia masih ingat bagaimana tangan yang kekar itu mendekapnya perlahan. Ya, ia masih mengingatnya. Dulu, ah, mengapa orang selalu senang mengenang kesilaman. Seperti sketsa bayangan rabun yang terkunci, pintu yang menyodorkan sejumlah kenangan, di mana warna-warni indah saja yang terlihat. Tetapi perubahaan adalah keniscayaan, sebentuk kesederhanaan yang akan datang di tubuh manusia. Dan ia pun paham, suaminya tengah berubah, bukan yang dulu lagi. Ketika menggandeng tangannya di pusat keramaian kota, ketika mencium bibirnya dengan lembut di dalam bioskop yang gelap…
Ah, mengapa ia mesti bangun pagi-pagi sekali? Toh, dunia juga tak akan beda baginya, terkurung di dalam rumah, disibukkan dengan pekerjaan yang biasa-biasa saja. Memasak. Mencuci piring dan baju. Nonton televisi. Sesekali, sebenarnya ia ingin suaminya mengajak jalan-jalan ke suatu tempat di dalam kota. Namun semuanya telah berubah bukan? Ya, ia pun paham --jika dirinya mesti bangun pagi-pagi sekali, dengan begitu ia bisa menyiapkan segalanya. Dengan begitu ia bisa menyediakan kopi untuk suaminya. Dengan begitu ia merasa telah melunaskan tugasnya sebagai seorang istri yang baik. Istri yang digambarkan dalam agamanya, bagaimana mesti bersikap kepada suami. Tetapi, ketika menyodorkan segelas kopi yang masih ngepul dengan asap tipis: lho,kok¸ malah digampar.
Ia menangis. Sejadi-jadinya. Pertahanannya yang tadi jebol juga. Ia tak mampu menampung. Ia sedih. Ia menyudut. Suaminya nanar, menjambaknya, menarik rambutnya. Ia merasa terbanting, ia ingat bagaimana ia biasa dipeluk oleh tangan hangat itu. Namun nampaknya segalanya sudah berlalu. Suaminya marah.
"Aku dengar kau sering kelayapan keluar rumah, ketika aku sedang bekerja. Dengan siapa?"
Ia hanya diam saja. Membisu. Tak sempat mengucapkan sesuatu.
"Ayo, jawab!!" Hentakan dari suaminya berlanjut, "Dengan siapa? O, jadi begini figur istri yang baik, kelayapan. Aku mendapatkan info dari orang yang dekat dengan kita, katanya malah kau sampai peluk-pelukan segala, di depan keramaian lagi!"
Ia mencoba mengingat. Tetapi segalanya abu-abu. Seperti ia merasa lelah ketika ingin membuka album foto masa lalu mereka berdua. Berapa lama mereka saling mengenal satu sama lainnya? Apakah benar ada kecurigaan mendasar dalam diri suaminya?
Demikianlah. Kecurigaan suaminya akhir-akhir ini seringkali meningkat. Ia tak tahu kenapa. Apakah sebuah keluarga dibangun dari rasa tidak percaya? Kecurigaan yang menjelma jadi lempung. Sesungguhnya, dulu, sebelum memutuskan menikah dengan lelaki itu, ia mengkhayalkan sebuah keluarga yang baik. Di mana ia akan menerima belaian kasih sayang sepanjang hari dari suaminya. Namun kenyataannya, yang terjadi tidaklah mudah. Ternyata membentuk keluarga merupakan suatu hal yang sangat sulit.
Apakah cinta memunyai dendam? Barangkali ya. Tetapi selalu ada sisi lain yang menampak, yang justru membuat keruh suasana. Dan ia berusaha untuk tetap mencintai suaminya, sebagaimana ia tercipta. Perempuan yang selalu diajar oleh kedua orang tuanya untuk tunduk dan setia di hadapan suami.
Tetapi, kenyataan kembali memaksa. Semacam ketika rasa was-was yang hadir terus saja melibasnya, setiap kali ia pingin bertemu dengan suaminya. Setiap kali dirinya masuk ke dalam rumah. Was-was yang menggelembung besar, yang membuat ia membenci suaminya. Meski di sudut hati kecil yang lain, ia masih mencintai suaminya. Ah, cinta, apakah harus tetap seperti ini? Ia merasa selalu ada yang berbaur antara benci dan suka. Ketika ia menghadapi --rutinitasnya sebagai istri belakangan ini-- yang setiap kali memandang wajah suaminya selalu ada kelebat bosan.
Di mukanya kini ada lebam biru, yang membuatnya malas berkaca. Wajahnya tidak lagi terlihat cantik, ia merasa ada yang menguntitnya. Seseorang, mungkin yang memantaunya dari kejauhan. Di muka cermin, ia saksikan wajahnya yang sendu, tak berdaya, dan takluk. Ia merasakan wajahnya nampak lebih tua akhir-akhir ini. Ah, apakah suaminya yang menyebabkan seperti itu?
Kelebat itu datang lagi, mengoyak dirinya. Padahal ia ingin mengembara ke masa lalunya yang bahagia itu. Ketika pertama kali suaminya menyatakan jatuh hati padanya. Kelebatan yang selalu bahagia. Ia merasa melayang diperlakukan istimewa. Dan kini, setelah mendampingi hidup suaminya selama beberapa tahun, ia merasa ada hal lain yang dipenuhi kejanggalan. Sesuatu yang justru turut memperkeruh semua rutinitasnya.
Ia ingin berdoa supaya ada seorang pangeran menjemputnya. Atau seorang ksatria berkuda membawanya pergi dari rumah ini. Sebab rumah nyatanya tak pernah lagi membuatnya betah. Ia selalu merasa terdesak, ingin pergi keluar jauh. Mungkin ke arah laut, di mana ia bisa duduk berdua-duaan dengan lelaki penyelamatnya. Menikmati matahari, menikmati pasir, mengarsir angin yang kesiur membawa ombak, yang mendamparkan segala buih. Ia ingin duduk berdua-dua, berwaktu-waktu.
Memang sekali dua kali masih ada lelaki yang dikenalnya, mengajaknya pergi. Semenjak suaminya sering memukulinya, praktis ia keluar jauh dari rumah. Ia memang menemui lelaki selain suaminya. "Barangkali aku telah berkhianat," keluhnya pada Dhesi, sahabat curhatnya. Sambil duduk memandang jauh, ia bertanya lirih, "Apakah cinta mesti diisi dengan para pecundang? Dikhianati dengan kadar kesetiaan yang begitu larat?"
Pagi itu, setelah ia menyeduhkan kopi dan menyiapkan sarapan pagi. Seusai ia merasakan tangan kekar yang menampar wajahnya, padahal dulu tangan itu begitu lembut membelai dirinya. Padahal dulu tangan itu selalu hati-hati dalam memegang setiap bagian tubuhnya.
Ia merasa ada tenaga lain yang merasukinya. Masuk ke dapur, mengambil sebuah pisau. Ya, ia baru saja selesai mengerjakan sesuatu yang mungkin membuatnya merasa bahagia. Sesuatu hal yang barangkali tak pernah diimpikan namun menjelma jadi sebuah kenyataan yang berdenyar. Nyatanya, ia tersungging, penuh dengan raut kepuasan di wajahnya. Bibirnya seakan dipenuhi dengan ekspresi kemenangan. Ia membersihkan pisau yang telah berlumur merah darah itu, ia membilasnya dengan air sampai bersih. Dan, kilatan matanya itu seperti sebuah lampion yang menunggu, berdenyar dan penuh cahaya. Ya, ia telah melakukan pekerjaan yang menurutnya paling berat: membunuh suaminya sendiri!
Di sudut yang lain, sesosok tubuh tergeletak, bersimbah darah. Sementara, pagi telah begitu terang. ***
Orang Bernomor Punggung
Cerpen Azhari
Dua puluh satu kali ia sudah memalingkan wajahnya ke belakang. 21 kali pula ia lihat ada barisan raya yang mengejarnya. Dalam lari, dalam dengus nafas yang memberat ia merasakan barisan raya itu kian merapat, tinggal setombak, lalu sedepa, dengan semena menyentakkan ujung bajunya. Merebahkannya. Meringkusnya.
Ia terus berlari. Lewat lubang telinganya yang menyesak ia dengar raung yang menghasut. Lewat pincing matanya ia lihat puluhan anak panah, bukan puluhan, ratusan anak panah menyongsongnya dari belakang. Juga beliung, kapak, dan tombak. Ia bungkukkan badannya serupa babi menyuruk, ia berlari sambil menyujudkan badannya. Menghindari segala serbuan.
Ia berlari menyibak perdu, melompati sungai, menerabas segala rimba, menjauh dari barisan raya yang tambah menyungkup, tambah mendekat. Ia terus berlari.
Ia alit. Tapi badannya tegap. Pun hitam legam. Seluruh badannya dipenuhi bintik-bintik bekas terserang sesuatu yang kelak kita menamakannya sebagai cacar. Ia datang ke kampung itu tiba-tiba. Ia datang seperti wabah yang tak hendak kembali. Ia ditemukan oleh para pencari rotan tersungkur di antara pematang tinggi yang mengapit dua ngarai. Ia sepertinya habis menaiki ngarai yang memang curam itu dengan susah-payah. Orang itu sekarat. Matanya yang tertutup bagai menyerapahi maut kenapa tak segera menghampirinya. Kalau kau sibak sedikit saja kelopak yang tertutup itu kau akan melihat ketakutan yang luar biasa di sana. Seluruh tubuhnya dicabik onak hutan.
Lalu para pencari rotan mengusungnya ke balai kampung. Orang kampung merawatnya. Menyembur seluruh tubuhnya dengan air sirih.
"Ia kepergok Pook," kata sang penyembur sirih. Pook adalah roh pemilik hutan. Para wanita yang menyaksikan kejadian itu menyungkup bayi-bayi mereka di kebusungan dadanya, mengucapkan lafaz penolak-bala agar bayi-bayi mereka tak terkena. Dan mereka meninggalkan tempat di mana orang itu dilentangkan --pada sebuah balai dari bambu-- sambil menggiring kanak-kanak.
Sebelas hari lamanya ia dalam perawatan. Sampai kemudian ia dinyatakan bugar kembali. "Wahai anak muda. Sekarang kau telah bugar. Kami telah menjalankan kewajiban menolong sesama manusia. Nah, sekarang kau boleh pergi," begitu kata tetua kampung setelah kesembuhannya.
Ia tak menjawab. Selama sebelas hari ia memang tak berbicara sepatah kata. Cuma mengangguk. Cuma menggeleng. Ia ketakutan luar biasa.
"Ia bisu!?" seru seseorang di tengah kerumunan. Ihwal sesuatu orang kampung memutuskannya di tempat terbuka dan diketahui khalayak.
"Tidak. Ia tidak bisu. Cuma ketakutan. Ia masih membayangi Pook," kata tetua kampung.
"Baiklah anak muda. Waktumu sebulan. Untuk sementara kau tinggal di rumahku. Setelahnya kau boleh pergi. Terserah. Atau kau mau menetap tinggal di kampung ini. Maksudku, tidak di dalam kampung. Di luar kampung kau boleh bangun rumah jauh dari pemukiman kami. Di batas kampung dengan hutan. Aku harus arif, banyak orang kampung masih gentar dengan kehadiranmu, mereka takut Pook mendatangi kediaman mereka karena mencium bau kau di tengah-tengah kampung. Dan itu tentunya menimbulkan masalah bagi mereka!" kata tetua kampung mengakhiri pertemuan itu.
Begitulah orang itu tidak pergi, tapi memilih membangun rumah di batas kampung dengan hutan. Ia membangun sebuah rumah kecil sendiri, dan menolak dengan halus ketika orang kampung ramai-ramai menawarkan tenaga mereka. Ia mengatakan bahwa selama ini orang kampung telah banyak menolongnya.
Berbilang tahun ia tinggal di gubuk kecil batas antara kampung dan hutan. Ia sudah beristri pula. Ia persunting seorang gadis kampung. Untuk menghidupi keluarganya ia menjadi pembelah kayu. Tiga hari sekali ia akan mengangkut kayu di dalam hutan. Menumpuknya di dekat perigi yang digalinya sendiri. Seminggu lamanya ia akan membelah gelondongan itu menjadi kayu-kayu kecil, disatukannya dalam ikatan-ikatan kecil sepelukan besarnya. Ia tidak membawanya ke pasar. Tapi orang-orang akan datang ke tempatnya untuk membelinya sebagai kayu bakar.
Nah, selagi ia membelah kayu, orang-orang yang datang membeli kayu bakar, tentu dilayani istrinya, dapat melihat tubuhnya yang kekal --ia tak memakai baju-- naik-turun mengikuti irama belahan. Sungguh bukan tubuh kekarnya yang menarik hati. Tapi sebuah rajah yang seperti terpahat di punggungnya --sedikit di bawah kuduk-- yang membuat orang-orang takjub. Rajah itu berbentuk 81. Sedalam setengah senti. Ia akan terkekeh kalau ada orang yang menanyakan perihal rajah itu (tapi sebenarnya ia tak dapat menyembunyikan ketakutan yang terkubur di kedalaman matanya setiap orang menanyakan ihwal itu). Maka dari itulah orang-orang menyebut dia sebagai si Bernomor Punggung. Atau Orang Bernomor Punggung.
Ia seorang yang lata. Keluarga si Bernomor Punggung nyaris tak memiliki persoalan tetek-bengek dengan para tetangga yang memang rumah mereka berjauhan. Bukan pula dia tak terlibat dengan pelbagai kegiatan di kampung. Banyak hal yang telah disumbangkannya kepada kampung. Awalnya orang kampung itu tak mengenal sumur. Karena kebiasaan mereka menciduk air yang melarung dari gunung membentuk batang sungai yang membelah kampung mereka. Jernih nian dan melimpah airnya. Tapi jika musim kemarau tiba batang sungai itu akan kering. Dan orang-orang kampung akan mengangkutnya naik-turun sepikulan bambu dari gunung yang berdepa-depa jauhnya. Diperkenalkannya sumur. Digalinya dalam-dalam tanah tandus itu sehingga air jernih menyembur. Diperkenalkannya pula timba dari pelepah pinang yang kedua sisinya dijahit dengan rotan.
Tak masalah pula jika ada seorang-dua yang tak membayar kayu bakar yang dibelahnya. Ia tak akan mengungkit-cungkilnya. Ia akan mengikhlaskannya. Tak menganggapnya sebagai piutang. Sungguh ia seorang yang lata. Dengan riang si Bernomor Punggung akan mengangkut kembali bergelondongan kayu karunia hutan, membelahnya sehingga menampakkan rajah 81 yang menceruk setengah senti di punggungnya, mengikat-ikatnya sepelukan besarnya.
Kanak-kanak berkarib baik dengannya. Kadang, jika musim buah-buahan hutan ia akan membawa serta beranting-ranting buah bersama gelondongan kayu. Dibagikannya kepada para karib kecilnya. Pun kanak-kanak itu dibuatkannya mainan dari sisa belahan yang terlampau bagus kalau sekadar dijadikan kayu pembakar. Kanak-kanak menyebutnya Pook yang baik. Ada beberapa kanak-kanak yang meminta kesediaannya agar diizinkan membenam jari kecil mereka di kedalaman rajah 81 di punggungnya. Dengan senang hati ia akan membungkukkan badannya dan kanak-kanak itu berbaris dengan tak sabar menunggu giliran. Ketika ada jari kecil yang melayari kedalaman rajah di punggungnya ia akan menggeliatkan badannya. Terbahak. Merasakan kegelian yang tak terperikan.
Dan orang-orang kampung masih saja tetap menganggap si Bernomor Punggung sebagai sesuatu yang didatangkan dengan tiba-tiba. Semacam Pook yang baik yang diturunkan khusus untuk membuatkan mereka perigi dan menyenangkan hati kanak-kanak mereka.
Tak jadi persoalan bagi si Bernomor Punggung orang-orang kampung ingin menganggapnya sebagai apa. Bukankah hidupnya sungguh bahagia? Apalagi tatkala ia mengetahui istrinya tengah mengandung. Aha, si Bernomor Punggung akan beroleh keturunan. Membuat si Bernomor Punggung semakin giat bekerja.
Hingga pada suatu masa. Beberapa orang kampung tersungkur. Bukan beberapa tapi semua orang kampung. Kecuali si Bernomor Punggung. Berhari-hari dalam panas dan gatal tak terperikan. Badan mereka dipenuhi bilur-bilur yang menggelembung. Meletup --menyembur cairan. Bilur-bilur yang tak terpulihkan dengan semburan sirih. Mereka terkena sejenis wabah yang kelak kita menamakannya cacar. Bukan wabah yang mengerikan memang. Si Bernomor Punggung tak mempan. Entah mengapa tak ada yang dapat menjelaskannya, juga si Bernomor Punggung. Orang-orang kampung takjub sekaligus kagum melihat si Bernomor Punggung tak apa-apa.
"Terang saja punggungnya berjimat."
"Ia Pook!"
"Siapkan pembakaran. Ia titisan wabah," perintah tetua kampung.
"Ia harus dibakar," seru yang lainnya.
Orang kampung bersegera menyiapkan upacara tolak bala. Si Bernomor Punggung harus dibakar hidup-hidup. Juga rumah dan isinya. Berat memang bagi orang kampung mengingat kebaikan hati si Bernomor Punggung, tapi adat harus dijalankan. Dengan itulah mereka berharap kampung dapat diselamatkan dari wabah.
Dan sungguh si Bernomor Punggung menerimanya dengan ikhlas. Ia tak mengerti kenapa ia harus dibakar. Sama seperti orang kampung tak mengerti kenapa ia tak terkena wabah, dan berajah 81. Dengan kapak di tangan, si Bernomor Punggung duduk di ruang tamu menunggu api yang berjilat-jilat membakar tubuhnya. Perihal rajah si Bernomor Punggung membawanya sampai ajal. Sampai daging tubuhnya berderik, tulang-tulangnya mengertap dipanggang api.
Prosesi banal itu dijalankan hampir malam. Masing-masing orang kampung memegang satu suluh, suluh dari buluh yang ujungnya disumpal dengan daun kelapa kering. Melingkar mengepung rumah. Sebuah suluh dilemparkan ke atap rumah pada pusingan pertama. Sebuah lagi pada pusingan kedua. Atap memerah. Diikuti dinding. Suluh-suluh dilemparkan pada pusingan berikutnya. Api mengerucut. Menderitkan kayu-kayu sanggaan yang patah. Orang-orang memberai dari lingkaran. Menanap dari jauh. Bayang api menari-nari di permukaan pipi setiap orang. Terdengar sayup isak istri si Bernomor Punggung dengan suluh di tangan yang urung dilemparkan. Seorang bocah memegang erat sebelah tangannya yang lain. Seorang bocah dengan manik mata memerah menyaksikan tumpukan api. Pun kanak-kanak lain dengan manik mata memerah menyaksikan liuk api.
21 kali ia dengar sayup isakan itu. Dalam api, dalam dengus yang memberat ia merasakan panas kian mendekat. Menyengat segala bulu dan kulit. Ia masih merasakan harum dagingnya yang terbakar. Ia merasakan ketakutan itu kembali. Ketakutan saat diburu barisan raya yang mengejarnya. Mengejar buron kerajaan dengan nomor punggung 81. Panas tambah menyungkup. Tambah merapat. ***
Dua puluh satu kali ia sudah memalingkan wajahnya ke belakang. 21 kali pula ia lihat ada barisan raya yang mengejarnya. Dalam lari, dalam dengus nafas yang memberat ia merasakan barisan raya itu kian merapat, tinggal setombak, lalu sedepa, dengan semena menyentakkan ujung bajunya. Merebahkannya. Meringkusnya.
Ia terus berlari. Lewat lubang telinganya yang menyesak ia dengar raung yang menghasut. Lewat pincing matanya ia lihat puluhan anak panah, bukan puluhan, ratusan anak panah menyongsongnya dari belakang. Juga beliung, kapak, dan tombak. Ia bungkukkan badannya serupa babi menyuruk, ia berlari sambil menyujudkan badannya. Menghindari segala serbuan.
Ia berlari menyibak perdu, melompati sungai, menerabas segala rimba, menjauh dari barisan raya yang tambah menyungkup, tambah mendekat. Ia terus berlari.
Ia alit. Tapi badannya tegap. Pun hitam legam. Seluruh badannya dipenuhi bintik-bintik bekas terserang sesuatu yang kelak kita menamakannya sebagai cacar. Ia datang ke kampung itu tiba-tiba. Ia datang seperti wabah yang tak hendak kembali. Ia ditemukan oleh para pencari rotan tersungkur di antara pematang tinggi yang mengapit dua ngarai. Ia sepertinya habis menaiki ngarai yang memang curam itu dengan susah-payah. Orang itu sekarat. Matanya yang tertutup bagai menyerapahi maut kenapa tak segera menghampirinya. Kalau kau sibak sedikit saja kelopak yang tertutup itu kau akan melihat ketakutan yang luar biasa di sana. Seluruh tubuhnya dicabik onak hutan.
Lalu para pencari rotan mengusungnya ke balai kampung. Orang kampung merawatnya. Menyembur seluruh tubuhnya dengan air sirih.
"Ia kepergok Pook," kata sang penyembur sirih. Pook adalah roh pemilik hutan. Para wanita yang menyaksikan kejadian itu menyungkup bayi-bayi mereka di kebusungan dadanya, mengucapkan lafaz penolak-bala agar bayi-bayi mereka tak terkena. Dan mereka meninggalkan tempat di mana orang itu dilentangkan --pada sebuah balai dari bambu-- sambil menggiring kanak-kanak.
Sebelas hari lamanya ia dalam perawatan. Sampai kemudian ia dinyatakan bugar kembali. "Wahai anak muda. Sekarang kau telah bugar. Kami telah menjalankan kewajiban menolong sesama manusia. Nah, sekarang kau boleh pergi," begitu kata tetua kampung setelah kesembuhannya.
Ia tak menjawab. Selama sebelas hari ia memang tak berbicara sepatah kata. Cuma mengangguk. Cuma menggeleng. Ia ketakutan luar biasa.
"Ia bisu!?" seru seseorang di tengah kerumunan. Ihwal sesuatu orang kampung memutuskannya di tempat terbuka dan diketahui khalayak.
"Tidak. Ia tidak bisu. Cuma ketakutan. Ia masih membayangi Pook," kata tetua kampung.
"Baiklah anak muda. Waktumu sebulan. Untuk sementara kau tinggal di rumahku. Setelahnya kau boleh pergi. Terserah. Atau kau mau menetap tinggal di kampung ini. Maksudku, tidak di dalam kampung. Di luar kampung kau boleh bangun rumah jauh dari pemukiman kami. Di batas kampung dengan hutan. Aku harus arif, banyak orang kampung masih gentar dengan kehadiranmu, mereka takut Pook mendatangi kediaman mereka karena mencium bau kau di tengah-tengah kampung. Dan itu tentunya menimbulkan masalah bagi mereka!" kata tetua kampung mengakhiri pertemuan itu.
Begitulah orang itu tidak pergi, tapi memilih membangun rumah di batas kampung dengan hutan. Ia membangun sebuah rumah kecil sendiri, dan menolak dengan halus ketika orang kampung ramai-ramai menawarkan tenaga mereka. Ia mengatakan bahwa selama ini orang kampung telah banyak menolongnya.
Berbilang tahun ia tinggal di gubuk kecil batas antara kampung dan hutan. Ia sudah beristri pula. Ia persunting seorang gadis kampung. Untuk menghidupi keluarganya ia menjadi pembelah kayu. Tiga hari sekali ia akan mengangkut kayu di dalam hutan. Menumpuknya di dekat perigi yang digalinya sendiri. Seminggu lamanya ia akan membelah gelondongan itu menjadi kayu-kayu kecil, disatukannya dalam ikatan-ikatan kecil sepelukan besarnya. Ia tidak membawanya ke pasar. Tapi orang-orang akan datang ke tempatnya untuk membelinya sebagai kayu bakar.
Nah, selagi ia membelah kayu, orang-orang yang datang membeli kayu bakar, tentu dilayani istrinya, dapat melihat tubuhnya yang kekal --ia tak memakai baju-- naik-turun mengikuti irama belahan. Sungguh bukan tubuh kekarnya yang menarik hati. Tapi sebuah rajah yang seperti terpahat di punggungnya --sedikit di bawah kuduk-- yang membuat orang-orang takjub. Rajah itu berbentuk 81. Sedalam setengah senti. Ia akan terkekeh kalau ada orang yang menanyakan perihal rajah itu (tapi sebenarnya ia tak dapat menyembunyikan ketakutan yang terkubur di kedalaman matanya setiap orang menanyakan ihwal itu). Maka dari itulah orang-orang menyebut dia sebagai si Bernomor Punggung. Atau Orang Bernomor Punggung.
Ia seorang yang lata. Keluarga si Bernomor Punggung nyaris tak memiliki persoalan tetek-bengek dengan para tetangga yang memang rumah mereka berjauhan. Bukan pula dia tak terlibat dengan pelbagai kegiatan di kampung. Banyak hal yang telah disumbangkannya kepada kampung. Awalnya orang kampung itu tak mengenal sumur. Karena kebiasaan mereka menciduk air yang melarung dari gunung membentuk batang sungai yang membelah kampung mereka. Jernih nian dan melimpah airnya. Tapi jika musim kemarau tiba batang sungai itu akan kering. Dan orang-orang kampung akan mengangkutnya naik-turun sepikulan bambu dari gunung yang berdepa-depa jauhnya. Diperkenalkannya sumur. Digalinya dalam-dalam tanah tandus itu sehingga air jernih menyembur. Diperkenalkannya pula timba dari pelepah pinang yang kedua sisinya dijahit dengan rotan.
Tak masalah pula jika ada seorang-dua yang tak membayar kayu bakar yang dibelahnya. Ia tak akan mengungkit-cungkilnya. Ia akan mengikhlaskannya. Tak menganggapnya sebagai piutang. Sungguh ia seorang yang lata. Dengan riang si Bernomor Punggung akan mengangkut kembali bergelondongan kayu karunia hutan, membelahnya sehingga menampakkan rajah 81 yang menceruk setengah senti di punggungnya, mengikat-ikatnya sepelukan besarnya.
Kanak-kanak berkarib baik dengannya. Kadang, jika musim buah-buahan hutan ia akan membawa serta beranting-ranting buah bersama gelondongan kayu. Dibagikannya kepada para karib kecilnya. Pun kanak-kanak itu dibuatkannya mainan dari sisa belahan yang terlampau bagus kalau sekadar dijadikan kayu pembakar. Kanak-kanak menyebutnya Pook yang baik. Ada beberapa kanak-kanak yang meminta kesediaannya agar diizinkan membenam jari kecil mereka di kedalaman rajah 81 di punggungnya. Dengan senang hati ia akan membungkukkan badannya dan kanak-kanak itu berbaris dengan tak sabar menunggu giliran. Ketika ada jari kecil yang melayari kedalaman rajah di punggungnya ia akan menggeliatkan badannya. Terbahak. Merasakan kegelian yang tak terperikan.
Dan orang-orang kampung masih saja tetap menganggap si Bernomor Punggung sebagai sesuatu yang didatangkan dengan tiba-tiba. Semacam Pook yang baik yang diturunkan khusus untuk membuatkan mereka perigi dan menyenangkan hati kanak-kanak mereka.
Tak jadi persoalan bagi si Bernomor Punggung orang-orang kampung ingin menganggapnya sebagai apa. Bukankah hidupnya sungguh bahagia? Apalagi tatkala ia mengetahui istrinya tengah mengandung. Aha, si Bernomor Punggung akan beroleh keturunan. Membuat si Bernomor Punggung semakin giat bekerja.
Hingga pada suatu masa. Beberapa orang kampung tersungkur. Bukan beberapa tapi semua orang kampung. Kecuali si Bernomor Punggung. Berhari-hari dalam panas dan gatal tak terperikan. Badan mereka dipenuhi bilur-bilur yang menggelembung. Meletup --menyembur cairan. Bilur-bilur yang tak terpulihkan dengan semburan sirih. Mereka terkena sejenis wabah yang kelak kita menamakannya cacar. Bukan wabah yang mengerikan memang. Si Bernomor Punggung tak mempan. Entah mengapa tak ada yang dapat menjelaskannya, juga si Bernomor Punggung. Orang-orang kampung takjub sekaligus kagum melihat si Bernomor Punggung tak apa-apa.
"Terang saja punggungnya berjimat."
"Ia Pook!"
"Siapkan pembakaran. Ia titisan wabah," perintah tetua kampung.
"Ia harus dibakar," seru yang lainnya.
Orang kampung bersegera menyiapkan upacara tolak bala. Si Bernomor Punggung harus dibakar hidup-hidup. Juga rumah dan isinya. Berat memang bagi orang kampung mengingat kebaikan hati si Bernomor Punggung, tapi adat harus dijalankan. Dengan itulah mereka berharap kampung dapat diselamatkan dari wabah.
Dan sungguh si Bernomor Punggung menerimanya dengan ikhlas. Ia tak mengerti kenapa ia harus dibakar. Sama seperti orang kampung tak mengerti kenapa ia tak terkena wabah, dan berajah 81. Dengan kapak di tangan, si Bernomor Punggung duduk di ruang tamu menunggu api yang berjilat-jilat membakar tubuhnya. Perihal rajah si Bernomor Punggung membawanya sampai ajal. Sampai daging tubuhnya berderik, tulang-tulangnya mengertap dipanggang api.
Prosesi banal itu dijalankan hampir malam. Masing-masing orang kampung memegang satu suluh, suluh dari buluh yang ujungnya disumpal dengan daun kelapa kering. Melingkar mengepung rumah. Sebuah suluh dilemparkan ke atap rumah pada pusingan pertama. Sebuah lagi pada pusingan kedua. Atap memerah. Diikuti dinding. Suluh-suluh dilemparkan pada pusingan berikutnya. Api mengerucut. Menderitkan kayu-kayu sanggaan yang patah. Orang-orang memberai dari lingkaran. Menanap dari jauh. Bayang api menari-nari di permukaan pipi setiap orang. Terdengar sayup isak istri si Bernomor Punggung dengan suluh di tangan yang urung dilemparkan. Seorang bocah memegang erat sebelah tangannya yang lain. Seorang bocah dengan manik mata memerah menyaksikan tumpukan api. Pun kanak-kanak lain dengan manik mata memerah menyaksikan liuk api.
21 kali ia dengar sayup isakan itu. Dalam api, dalam dengus yang memberat ia merasakan panas kian mendekat. Menyengat segala bulu dan kulit. Ia masih merasakan harum dagingnya yang terbakar. Ia merasakan ketakutan itu kembali. Ketakutan saat diburu barisan raya yang mengejarnya. Mengejar buron kerajaan dengan nomor punggung 81. Panas tambah menyungkup. Tambah merapat. ***
Bukan (Anak) yang Pertama
Cerpen Tarti Khusnul Khotimah
Malam, lewat pukul sembilan. Di kamar, Zahra dan suaminya, Ali, baru saja selesai menidurkan kedua anak mereka --Hasan, lima tahun, dan Laila, dua setengah tahun.
"Ayah, sudah 30 hari lebih kok belum nongol-nongol juga ya… bulannya? Padahal, biasanya hanya selang 27 atau 28 hari. Apakah…?" sambil menerawang, Zahra tak meneruskan kalimatnya.
Hening. Diliriknya suaminya yang berbaring di sampingnya. Tak bereaksi --seperti biasanya, tenang-- entah sedang mencari-cari kata jawaban yang pas atau memang menurutnya tak perlu berkomentar.
Kesunyian menguasai mereka berdua, semuanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Hanya, tak lama kemudian Ali beringsut dan dengan penuh kasih sayang dikecupnya kening Zahra dan dielus-elusnya perut istrinya yang sangat dicintainya itu.
"Kurasa tidak adil...," keluh Zahra, memecah kesunyian, "mengapa kehadiran apa pun, jika ia bukan yang pertama, dianggap tidak istimewa dan biasa-biasa saja? Mengapa ia tak disambut sebagaimana mestinya?" lanjutnya setengah sewot.
Lagi-lagi, tak sepatah kata pun keluar dari mulut suaminya. Tak jelas apa yang sedang berkecamuk di hati suaminya itu.
Entah mengapa, Zahra akhir-akhir ini sering memendam perasaan khawatir akan masa depan yang harus dilaluinya. Hingga kini, mereka yang telah dikaruniai dua anak itu, masih menumpang hidup di rumah orang tua Ali. Padahal orang tua Ali sendiri masih harus menanggung beban lima anak yang lain --adik-adik Ali-- yang kesemuanya masih membutuhkan biaya kuliah atau sekolah.
Sekitar enam tahun yang lalu Zahra dan Ali menikah. Waktu itu mereka berdua masih sama-sama kuliah tingkat akhir, tinggal skripsi. Sebenarnya Zahra ingin menyelesaikan dulu kuliahnya yang hampir terbengkelai untuk kemudian bekerja dan baru akan menikah. Tetapi, rupanya sang calon suami berkehendak lain. Ali inginnya segera cepat menikah.
"Kita saling mencintai. Usia kita juga sudah matang, 25 tahun. Apa lagi? Penghasilan…? Sedikit-sedikit dari hasil nulis di koran juga sudah lumayan. Anugerah Tuhan tidak boleh disia-siakan," begitu kilah Ali.
Ali memang tipe orang yang sangat optimistis menghadapi masa depan, meski terkadang terasa kurang rasional, menurut Zahra. Dengan modal semangat idealistik, layaknya seorang pejuang, ia berhasil membujuk dan meyakinkan kedua orang tuanya untuk meminang Zahra, kekasihnya. Akan halnya Zahra, yang semula bersikeras tidak akan menikah sebelum bekerja, akhirnya luluh juga. Zahra tak kuasa menolak tali kasih cinta Ali yang hendak diwujudkan ke dalam bentuk pernikahan suci.
"Apa kata ibu nanti... ?" kembali desah Zahra. Nadanya terdengar pesimis. Ia sudah membayangkan bagaimana reaksi ibu mertuanya. Wajah dan kata-katanya tentu sangat tidak mengenakkan hati.
Terbayang kembali di hadapan Zahra bagaimana kejadian tiga setengah tahun yang lalu, saat ia hamil yang kedua kalinya. Belum sempat ia memberitahu ibu mertuanya tentang kehamilannya ini, beliau telah terlebih dahulu menegur mengapa anaknya yang pertama keburu disapih padahal belum genap umur dua tahun. Ia pun mengatakan keadaan yang sesungguhnya. Tidak disangka, ibu mertuanya menyesalkan terjadinya kehamilan itu. Dikatakannya bahwa mereka sembrono, tidak hati-hati.
"Bikin anak itu enak, gampang. Tapi ngurusnya yang susah. Apalagi ini… kamu… anak yang pertama saja masih kecil, baru satu setengah tahun. Ngurus satu saja masih kewalahan...," cerocos ibu mertuanya mengingatkan, walau sebenarnya sia-sia saja karena semuanya telah terlanjur.
"Kalian sudah dewasa…sekolah kalian tinggi... Sekarang zaman sudah maju, peralatan sudah lengkap, tinggal pilih... Mengapa kalian tidak bisa merencanakan dengan baik jarak kelahiran anak kalian?" gerutu ibu mertuanya lagi, masih menyesali keadaan.
Zahra mencoba membela diri. Dia menjelaskan kepada ibu mertuanya bahwa dia memilih tidak memakai alat kontrasepsi lebih disebabkan oleh keinginannya untuk tidak menyalahi kodrat Ilahi. Selain itu, ada kecenderungan pada diri Zahra untuk membayangkan hal-hal buruk akibat efek samping dari pemakaian alat kontrasepsi sebagaimana yang ia dengar dari beberapa pengalaman orang-orang yang pernah memakainya. Suaminya juga membebaskannya dalam mengambil keputusan. Maka, Zahra pun memilih jalan yang dipandangnya paling aman: memasrahkan semuanya kepada Tuhan. Bila dikehendaki untuk hamil akan diterima dengan senang hati, bila tidak itu berarti belum waktunya.
Namun, sang ibu rupanya tidak bisa memahami jalan pikirannya. Zahra menjadi resah dan gelisah. Perasaan itu begitu menekan di dalam dada. Kegelisahan oleh keinginan untuk terbebas dari bayang-bayang ibu mertuanya. Kegelisahan menghadapi masa depan yang belum jelas. Kegelisahan menghadapi kecemasan-kecemasan.
"Kalau...," tiba-tiba suaminya angkat bicara. Masih dengan nada ragu-ragu, "Kalau digugurkan saja... bagaimana...? Ini kan baru berumur... kurang lebih satu bulan...?"
Tersentak Zahra mendengarnya. Ditatap lekat-lekat wajah suaminya. Sungguh suatu hal yang sulit dipercaya. Tidak disangkanya gagasan seperti itu terucap dari mulut suaminya sendiri. Zahra tahu persis Ali adalah orang yang mengerti agama.
"Tidak! Seumur hidup takkan pernah kumaafkan diriku sendiri jika hal itu dilakukan. Apa pun yang terjadi…jika Tuhan memang menghendaki, maka janin ini akan tetap kupertahankan!" tegas Zahra penuh emosional. Bergidik ia tak sanggup membayangkan bagaimana janin yang terlindung aman di dalam rahimnya diambil paksa oleh tangan-tangan jahil dan tak berperasaan. Belum lagi rasa sakit yang harus ditanggungnya, juga rasa berdosa yang akan terus menderanya. Bahkan tidak hanya itu, nyawanya pun akan turut pula dipertaruhkan.
Perdebatan tidak berlanjut. Baik Ali maupun Zahra sama-sama memilih diam.
Lama mereka mendiamkan soal itu. Kira-kira sebulan sesudah perdebatan malam itu, tiba-tiba Ali menawari istrinya untuk berjalan-jalan sekeluarga. Kepada kedua anaknya dia berjanji akan membelikan mainan.
"Bagaimana Bu... nanti sore bisakah?" Ali meminta persetujuan istrinya.
"Jangan bicara sembarangan, Yah, nanti kalau anak-anak merengek betul gimana? Untuk membeli susu saja kadang nggak kesampaian, eh… kok malah menjanjikan membeli mainan?" Zahra mengingatkan, menyangsikan ajakan suaminya.
Namun, dengan wajah cerah dan tersenyum lebar Ali menunjukkan beberapa lembar uang seratus ribuan kepada istrinya. "Kalau tidak mau... ya, sudah...," dengan entengnya Ali berkata seraya menggoda.
Dan acara jalan-jalan pun menjadi kenyataan. Bahkan sejak itu menjadi kebiasaan. Rezeki sepertinya selalu datang setiap diundang. Susu untuk anak-anak tak pernah kehabisan. Bermacam-macam mainan selalu dapat Ali belikan. Belanja kebutuhan untuk Zahra juga tak ketinggalan. Susu khusus untuk ibu hamil selalu terbeli. Segala perlengkapan bayi sudah dapat dipersiapkan jauh-jauh hari. Sang suami tampak bangga dan bahagia melihat anak dan istrinya sehat dan gembira penuh suka cita.
Terbersit juga rasa penasaran dalam pikiran Zahra, dari mana Ali beroleh rezeki yang sepertinya selalu datang mengalir itu? Sempat diputuskannya untuk bertanya, tetapi diurungkan kembali niatnya, khawatir akan menyinggung perasaan suaminya.
Akhirnya, Zahra tidak terlalu banyak bertanya karena ia tetap yakin bahwa rezeki yang Ali dapatkan adalah halal jua. Siapa tahu Ali memang sedang beroleh order khusus yang berkaitan dengan profesinya sebagai penulis. Itu saja yang bisa Zahra tebak.
Atau, barangkali inikah hikmah dari kehamilan? Puji syukur dalam hati Zahra. Benarlah kiranya bahwa anak membawa rezeki masing-masing.
Roda waktu seakan diputar dengan cepat. Hari demi hari berlalu, bulan demi bulan berganti. Tak terasa bayi dalam kandungan Zahra sudah genap usia, sembilan bulan. Dengan hati gembira disambutnya hari-hari menjelang kelahiran anaknya yang ketiga. Hari-hari yang dinanti penuh debar kebahagiaan.
Tepat dua per tiga malam Zahra terbangun. Rupanya anak yang ada di dalam kandungannya sudah meronta ingin segera melihat dunia.
"Ayah…Yah...," dengan hati-hati Zahra segera membangunkan suaminya, "sepertinya sudah waktunya...," lanjut Zahra sambil merintih menahan sakit akibat konstraksi di dalam perutnya.
Tanpa banyak bertanya Ali segera mempersiapkan diri, dan mereka pun bergegas berangkat ke klinik bersalin dengan terlebih dulu pamit kepada ibu sambil berpesan agar mengurus kedua cucunya jika mereka bangun nanti.
Baru sampai setengah perjalanan, Zahra merasa keheranan, menepuk pundak Ali.
"Lho, Yah... kenapa lewat sini? Kita ke klinik Bu Aisyah, seperti biasanya, kan?
Malam, lewat pukul sembilan. Di kamar, Zahra dan suaminya, Ali, baru saja selesai menidurkan kedua anak mereka --Hasan, lima tahun, dan Laila, dua setengah tahun.
"Ayah, sudah 30 hari lebih kok belum nongol-nongol juga ya… bulannya? Padahal, biasanya hanya selang 27 atau 28 hari. Apakah…?" sambil menerawang, Zahra tak meneruskan kalimatnya.
Hening. Diliriknya suaminya yang berbaring di sampingnya. Tak bereaksi --seperti biasanya, tenang-- entah sedang mencari-cari kata jawaban yang pas atau memang menurutnya tak perlu berkomentar.
Kesunyian menguasai mereka berdua, semuanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Hanya, tak lama kemudian Ali beringsut dan dengan penuh kasih sayang dikecupnya kening Zahra dan dielus-elusnya perut istrinya yang sangat dicintainya itu.
"Kurasa tidak adil...," keluh Zahra, memecah kesunyian, "mengapa kehadiran apa pun, jika ia bukan yang pertama, dianggap tidak istimewa dan biasa-biasa saja? Mengapa ia tak disambut sebagaimana mestinya?" lanjutnya setengah sewot.
Lagi-lagi, tak sepatah kata pun keluar dari mulut suaminya. Tak jelas apa yang sedang berkecamuk di hati suaminya itu.
Entah mengapa, Zahra akhir-akhir ini sering memendam perasaan khawatir akan masa depan yang harus dilaluinya. Hingga kini, mereka yang telah dikaruniai dua anak itu, masih menumpang hidup di rumah orang tua Ali. Padahal orang tua Ali sendiri masih harus menanggung beban lima anak yang lain --adik-adik Ali-- yang kesemuanya masih membutuhkan biaya kuliah atau sekolah.
Sekitar enam tahun yang lalu Zahra dan Ali menikah. Waktu itu mereka berdua masih sama-sama kuliah tingkat akhir, tinggal skripsi. Sebenarnya Zahra ingin menyelesaikan dulu kuliahnya yang hampir terbengkelai untuk kemudian bekerja dan baru akan menikah. Tetapi, rupanya sang calon suami berkehendak lain. Ali inginnya segera cepat menikah.
"Kita saling mencintai. Usia kita juga sudah matang, 25 tahun. Apa lagi? Penghasilan…? Sedikit-sedikit dari hasil nulis di koran juga sudah lumayan. Anugerah Tuhan tidak boleh disia-siakan," begitu kilah Ali.
Ali memang tipe orang yang sangat optimistis menghadapi masa depan, meski terkadang terasa kurang rasional, menurut Zahra. Dengan modal semangat idealistik, layaknya seorang pejuang, ia berhasil membujuk dan meyakinkan kedua orang tuanya untuk meminang Zahra, kekasihnya. Akan halnya Zahra, yang semula bersikeras tidak akan menikah sebelum bekerja, akhirnya luluh juga. Zahra tak kuasa menolak tali kasih cinta Ali yang hendak diwujudkan ke dalam bentuk pernikahan suci.
"Apa kata ibu nanti... ?" kembali desah Zahra. Nadanya terdengar pesimis. Ia sudah membayangkan bagaimana reaksi ibu mertuanya. Wajah dan kata-katanya tentu sangat tidak mengenakkan hati.
Terbayang kembali di hadapan Zahra bagaimana kejadian tiga setengah tahun yang lalu, saat ia hamil yang kedua kalinya. Belum sempat ia memberitahu ibu mertuanya tentang kehamilannya ini, beliau telah terlebih dahulu menegur mengapa anaknya yang pertama keburu disapih padahal belum genap umur dua tahun. Ia pun mengatakan keadaan yang sesungguhnya. Tidak disangka, ibu mertuanya menyesalkan terjadinya kehamilan itu. Dikatakannya bahwa mereka sembrono, tidak hati-hati.
"Bikin anak itu enak, gampang. Tapi ngurusnya yang susah. Apalagi ini… kamu… anak yang pertama saja masih kecil, baru satu setengah tahun. Ngurus satu saja masih kewalahan...," cerocos ibu mertuanya mengingatkan, walau sebenarnya sia-sia saja karena semuanya telah terlanjur.
"Kalian sudah dewasa…sekolah kalian tinggi... Sekarang zaman sudah maju, peralatan sudah lengkap, tinggal pilih... Mengapa kalian tidak bisa merencanakan dengan baik jarak kelahiran anak kalian?" gerutu ibu mertuanya lagi, masih menyesali keadaan.
Zahra mencoba membela diri. Dia menjelaskan kepada ibu mertuanya bahwa dia memilih tidak memakai alat kontrasepsi lebih disebabkan oleh keinginannya untuk tidak menyalahi kodrat Ilahi. Selain itu, ada kecenderungan pada diri Zahra untuk membayangkan hal-hal buruk akibat efek samping dari pemakaian alat kontrasepsi sebagaimana yang ia dengar dari beberapa pengalaman orang-orang yang pernah memakainya. Suaminya juga membebaskannya dalam mengambil keputusan. Maka, Zahra pun memilih jalan yang dipandangnya paling aman: memasrahkan semuanya kepada Tuhan. Bila dikehendaki untuk hamil akan diterima dengan senang hati, bila tidak itu berarti belum waktunya.
Namun, sang ibu rupanya tidak bisa memahami jalan pikirannya. Zahra menjadi resah dan gelisah. Perasaan itu begitu menekan di dalam dada. Kegelisahan oleh keinginan untuk terbebas dari bayang-bayang ibu mertuanya. Kegelisahan menghadapi masa depan yang belum jelas. Kegelisahan menghadapi kecemasan-kecemasan.
"Kalau...," tiba-tiba suaminya angkat bicara. Masih dengan nada ragu-ragu, "Kalau digugurkan saja... bagaimana...? Ini kan baru berumur... kurang lebih satu bulan...?"
Tersentak Zahra mendengarnya. Ditatap lekat-lekat wajah suaminya. Sungguh suatu hal yang sulit dipercaya. Tidak disangkanya gagasan seperti itu terucap dari mulut suaminya sendiri. Zahra tahu persis Ali adalah orang yang mengerti agama.
"Tidak! Seumur hidup takkan pernah kumaafkan diriku sendiri jika hal itu dilakukan. Apa pun yang terjadi…jika Tuhan memang menghendaki, maka janin ini akan tetap kupertahankan!" tegas Zahra penuh emosional. Bergidik ia tak sanggup membayangkan bagaimana janin yang terlindung aman di dalam rahimnya diambil paksa oleh tangan-tangan jahil dan tak berperasaan. Belum lagi rasa sakit yang harus ditanggungnya, juga rasa berdosa yang akan terus menderanya. Bahkan tidak hanya itu, nyawanya pun akan turut pula dipertaruhkan.
Perdebatan tidak berlanjut. Baik Ali maupun Zahra sama-sama memilih diam.
Lama mereka mendiamkan soal itu. Kira-kira sebulan sesudah perdebatan malam itu, tiba-tiba Ali menawari istrinya untuk berjalan-jalan sekeluarga. Kepada kedua anaknya dia berjanji akan membelikan mainan.
"Bagaimana Bu... nanti sore bisakah?" Ali meminta persetujuan istrinya.
"Jangan bicara sembarangan, Yah, nanti kalau anak-anak merengek betul gimana? Untuk membeli susu saja kadang nggak kesampaian, eh… kok malah menjanjikan membeli mainan?" Zahra mengingatkan, menyangsikan ajakan suaminya.
Namun, dengan wajah cerah dan tersenyum lebar Ali menunjukkan beberapa lembar uang seratus ribuan kepada istrinya. "Kalau tidak mau... ya, sudah...," dengan entengnya Ali berkata seraya menggoda.
Dan acara jalan-jalan pun menjadi kenyataan. Bahkan sejak itu menjadi kebiasaan. Rezeki sepertinya selalu datang setiap diundang. Susu untuk anak-anak tak pernah kehabisan. Bermacam-macam mainan selalu dapat Ali belikan. Belanja kebutuhan untuk Zahra juga tak ketinggalan. Susu khusus untuk ibu hamil selalu terbeli. Segala perlengkapan bayi sudah dapat dipersiapkan jauh-jauh hari. Sang suami tampak bangga dan bahagia melihat anak dan istrinya sehat dan gembira penuh suka cita.
Terbersit juga rasa penasaran dalam pikiran Zahra, dari mana Ali beroleh rezeki yang sepertinya selalu datang mengalir itu? Sempat diputuskannya untuk bertanya, tetapi diurungkan kembali niatnya, khawatir akan menyinggung perasaan suaminya.
Akhirnya, Zahra tidak terlalu banyak bertanya karena ia tetap yakin bahwa rezeki yang Ali dapatkan adalah halal jua. Siapa tahu Ali memang sedang beroleh order khusus yang berkaitan dengan profesinya sebagai penulis. Itu saja yang bisa Zahra tebak.
Atau, barangkali inikah hikmah dari kehamilan? Puji syukur dalam hati Zahra. Benarlah kiranya bahwa anak membawa rezeki masing-masing.
Roda waktu seakan diputar dengan cepat. Hari demi hari berlalu, bulan demi bulan berganti. Tak terasa bayi dalam kandungan Zahra sudah genap usia, sembilan bulan. Dengan hati gembira disambutnya hari-hari menjelang kelahiran anaknya yang ketiga. Hari-hari yang dinanti penuh debar kebahagiaan.
Tepat dua per tiga malam Zahra terbangun. Rupanya anak yang ada di dalam kandungannya sudah meronta ingin segera melihat dunia.
"Ayah…Yah...," dengan hati-hati Zahra segera membangunkan suaminya, "sepertinya sudah waktunya...," lanjut Zahra sambil merintih menahan sakit akibat konstraksi di dalam perutnya.
Tanpa banyak bertanya Ali segera mempersiapkan diri, dan mereka pun bergegas berangkat ke klinik bersalin dengan terlebih dulu pamit kepada ibu sambil berpesan agar mengurus kedua cucunya jika mereka bangun nanti.
Baru sampai setengah perjalanan, Zahra merasa keheranan, menepuk pundak Ali.
"Lho, Yah... kenapa lewat sini? Kita ke klinik Bu Aisyah, seperti biasanya, kan?
" tanya Zahra,mengingatkan.
"Tidak... Kali ini kita ke klinik lain, klinik Bu Ami. Di sana lebih bagus," jelas Ali menentramkan.
"Memangnya Ayah sudah pernah ke sana…?" selidik Zahra, masih penasaran.
"Sudahlah, kita lihat saja nanti," kata Ali memutus pembicaraan, tanpa menghiraukan keheranan istrinya.
Zahra akhirnya memilih untuk diam saja, mencoba percaya pada kata-kata suaminya, walau di hatinya masih tersimpan seribu tanda tanya. Di sisi lain dia sendiri juga disibukkan oleh rasa sakit yang melilit.
Sesampai di tempat, Zahra segera dibawa masuk kamar bersalin. Persalinan dilakukan oleh seorang bidan dibantu seorang perawat. Proses persalinan berjalan lancar dan cepat.
Tidak seperti biasanya, setelah tubuhnya dibersihkan dan pindah dari kamar bersalin, bayinya tidak diperlihatkan untuk dipeluk dan diajar menyusu dalam hangatnya dekapan kasih sayang seorang ibu. Hati Zahra bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi. Pikirannya mulai berkecamuk. Otaknya dipengaruhi oleh prasangka-prasangka buruk.
Akhirnya, karena rasa penasaran yang tak tertahankan lagi, ia menanyakan di mana bayinya. Ali memandang istrinya sebentar, lalu menunduk. Lama mereka terdiam, sampai akhirnya Ali menjawab dengan pelan.
"Sudah... diambil yang berhak...."
Dug. Jantung Zahra berdegup kencang. Panik. Ditatapnya mata Ali dalam-dalam, mencari kebenaran. Dinantinya kata-kata Ali lebih lanjut, walau ternyata sia-sia. Akhirnya, dengan terbata dan berurai air mata, Zahra hendak menegaskan, "Maksud Ayah... meninggal...?"
Tenggorokan Ali serasa tersekat. Hatinya pedih tersayat-sayat, tak tahan menyaksikan isak tangis dan duka-lara istrinya. Dipeluknya Zahra. Menetes airmata.
Tak sampai hati ia mengatakan peristiwa yang sesungguhnya, bahwa bayi tersebut telah dia jual, bahkan sejak masih dalam kandungan istrinya! ***
"Tidak... Kali ini kita ke klinik lain, klinik Bu Ami. Di sana lebih bagus," jelas Ali menentramkan.
"Memangnya Ayah sudah pernah ke sana…?" selidik Zahra, masih penasaran.
"Sudahlah, kita lihat saja nanti," kata Ali memutus pembicaraan, tanpa menghiraukan keheranan istrinya.
Zahra akhirnya memilih untuk diam saja, mencoba percaya pada kata-kata suaminya, walau di hatinya masih tersimpan seribu tanda tanya. Di sisi lain dia sendiri juga disibukkan oleh rasa sakit yang melilit.
Sesampai di tempat, Zahra segera dibawa masuk kamar bersalin. Persalinan dilakukan oleh seorang bidan dibantu seorang perawat. Proses persalinan berjalan lancar dan cepat.
Tidak seperti biasanya, setelah tubuhnya dibersihkan dan pindah dari kamar bersalin, bayinya tidak diperlihatkan untuk dipeluk dan diajar menyusu dalam hangatnya dekapan kasih sayang seorang ibu. Hati Zahra bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi. Pikirannya mulai berkecamuk. Otaknya dipengaruhi oleh prasangka-prasangka buruk.
Akhirnya, karena rasa penasaran yang tak tertahankan lagi, ia menanyakan di mana bayinya. Ali memandang istrinya sebentar, lalu menunduk. Lama mereka terdiam, sampai akhirnya Ali menjawab dengan pelan.
"Sudah... diambil yang berhak...."
Dug. Jantung Zahra berdegup kencang. Panik. Ditatapnya mata Ali dalam-dalam, mencari kebenaran. Dinantinya kata-kata Ali lebih lanjut, walau ternyata sia-sia. Akhirnya, dengan terbata dan berurai air mata, Zahra hendak menegaskan, "Maksud Ayah... meninggal...?"
Tenggorokan Ali serasa tersekat. Hatinya pedih tersayat-sayat, tak tahan menyaksikan isak tangis dan duka-lara istrinya. Dipeluknya Zahra. Menetes airmata.
Tak sampai hati ia mengatakan peristiwa yang sesungguhnya, bahwa bayi tersebut telah dia jual, bahkan sejak masih dalam kandungan istrinya! ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar